JAKARTA – Indonesia merupakan bangsa dan negara yang multikultur dan pluralis serta dikenal ramah dan penuh toleransi. Karena itu tak salah Pancasila menjadi ideologi negara, didalamnya adanya bhineka tunggal ika. “Indonesia identik dengan Pancasila yang mengemas perbedaan dalam kerukunan. Kalau dengan orang lain saja kita bisa menerima dengan suka cita, mengapa dengan bangsa sendiri tidak bisa toleransi,” kata Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri di Jakarta, Senin (31/12).
Karena itu, Mega berharap bangsa Indonesia bisa menghargai perbedaan pandangan, politik maupun budaya tanpa melakukan paksaan terhadap orang lain. “Perbedaan jangan sampai mendorong kekerasan dan pemaksaan. Indonesia dikenal sebagai bangsa yang ramah, sopan santun dan penuh toleransi,” ujarnya.
Sebelumnya, kader PDI Perjuangan,Said Abdullah yang menulis buku Multikulturalisme mengungkapkan pluralisme, dalam konteks ke-Indonesiaan, mudah dipahami sebagai Bhineka Tunggal Ika, beraneka ragam tetapi satu. Di sinilah pluralisme bersambung dengan Pancasila.
Namun, gerakan-gerakan itu menjalar hampir tanpa hambatan karena sepanjang era Reformasi rakyat Indonesia mengabaikan untuk tidak mengatakan melupakan Pancasila sebagai dampak reformasi yang dinilai kebanyakan orang kebablasan.
Menurut anggota Komisi VIII DPR F-PDI Perjuangan ini, fakta sejarah membuktikan Indonesia dibangun di atas keserbaragaman suku, adat istiadat, agama, bahasa, bahkan ideologi. Kebinekaan adalah salah satu ciri utama bangsa Indonesia. Founding Fathers menerima dan mengakuinya sebagai kekayaan bangsa Indonesia.
Oleh karena itu, sambung Said lagi, untuk menjamin keberlangsungan, mereka menggelorakan semboyan Bhineka Tunggal Ika. Masyarakat punya kewajiban untuk menghidupi semboyan itu. “Tanpa mengakui fakta itu, mustahil negara bernama Indonesia ini bisa bertahan hingga kini,” ujarnya.
Salah satu ancaman serius terhadap keutuhan NKRI dewasa ini, kata Said, selain masalah korupsi dan kemiskinan, adalah upaya pengingkaran terhadap pilar-pilar kehidupan berbangsa dan bernegara (ideologi Pancasila, konstitusi UUD Negara RI 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika). Gerakan ini, jika dipelihara, akan semakin menggerus keutuhan rumah bersama bernama Indonesia, dan hanya menunggu waktu untuk dihampiri oleh kehancuran. Oleh karena itu, kita, bangsa Indonesia, membutuhkan dan harus terus merawat pilar-pilar kebangsaan itu.
Hanya dengan kesadaran itu, ujarnya, Indonesia dapat membangun suatu masyarakat terbuka yang menjadi basis bagi pengembangan paham multikulturalisme. Karena dengan keterbukaan, berbagai unsur masyarakat bisa saling memahami, saling belajar, dan saling memanfaatkan dalam kerja sama maupun persaingan yang sehat. “Akan tetapi, sebuah fenomena yang mencemaskan di kalangan kaum elite bangsa Indonesia adalah menjadikan pilar-pilar kebangsaan itu sebagai pemanis mulut atau jargon semata,” pungkasnya. (cea)