JAKARTA-Penggunaan dana kampanye sejumlah partai politik (parpol) rawan penyimpangan. Karena itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) perlu melakukan kerjasama konkret dengan Komisi Pemberantasan Korupsi(KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk mengawasi aliran dana pemilu. “Bagusnya, KPU juga menggandeng PPATK dan KPK untuk meminimalisir dampak buruk dari penyimpangan anggaran itu Dan dengan Kementrian Dalam Negeri (Kemdagri) terkait politik anggaran,” kata Peneliti korupsi politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Apung Widadi di Jakarta, Minggu (20/1).
Lebih jauh kata Apung, nota kesepahaman tersebut dinilai sangat penting. Hal ini karena KPU dan Kemdagri rawan untuk diintervensi terkait penegakan hukum terkait pelanggaran dana kampanye.
Apalagi, lanjut Apung, belum lama ini, DPR menolak aturan pembatasan dana kampanye. Padahal, aturan pembatasan sumbangan, cara verifikasi sumbangan, akuntablitasnya dana pembatasan belanja dana kampanye belum ada. “Memang bisa sebenarnya (pembatasan dana kampanye). Tetapi, harus ada yang dibatasi di KPU, bukan rekening partai politik (parpol) tetapi rekening calon dan tim suksesnya,” ujar Apung.
Oleh karena itu, Apung melihat memang ada niat dari para politisi di DPR agar membuat aturan pembatasan itu tidak ada. Sehingga, tegas Apung, tumpuan utamanya terletak pada KPK dan PPATK sebagai lembaga yang masih dinilai independen dan belum terkooptasi oleh politik.
Apung mencontohkan, bagaimana menjelang 2014 akan terjadi “tsunami” belanja politik. Di mana, dana kampanye semakin tinggi, yaitu sumbangan dari organisasi maksimal Rp 7,5 miliar. Sehingga, perputaran uang dana kampanye 2014 semakin besar.
Ditambah lagi, lanjut Apung, penggunaan anggaran-anggaran, seperti dana aspirasi, dana taktis dan tak terduga di masing-masing Kementerian yang rawan diselewengkan. Selanjutnya, perputaran uang dari para pejabat daerah yang merupakan kader parpol terntentu.
“Dari penelusuran ICW, ditemukan seorang satpam menyumbang Rp5 juta ke parpol tertentu. Padahal, setelah ditanya ke istrinya, ternyata tidak pernah ada sumbangan itu apalagi gaji perbulan hanya Rp3,5 juta,” ungkap Apung.
Sedangkan, di Jawa Barat, ungkap Apung, anggaran untuk dana tak terduga mencapai Rp530 miliar yang berpotensi sebagai dana taktis pada pemilu 2014. Oleh karena itu, sekali lagi, Apung mewakili ICW mendesak agar KPU segera menentukan pembatasan dana kampanye. (cea)