JAKARTA – Pernyataan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) soal adanya rekening gendut milik 20 anggota Badan Anggaran DPR menuai kritik. PPATK terlalu genit dengan mengumbar pernyataan untuk menyerang DPR. “Ini tidak sehat. Kita sebagai mitra PPATK capek mengingatkan. Kalau ingin bantu penegakan hukum, bawa saja ke penegak hukum,” ujar Ketua Komisi III DPR I Gede Pasek Suardika di Jakarta, Kamis (3/1).
Menurut dia, pimpinan PPATK mencari popularitas dengan terus menyerang legislatif. Pasalnya, kata dia, saat ini orang bakal cepat populer dengan menyerang DPR. “Jangan umbar ke ruang publik. Ini kurang baik bagi Indonesia,” jelas dia.
Karena itu, politikus Partai Demokrat ini meminta kepolisian, kejaksaan dan KPK menuntaskan laporan hasil analisis (LHA) PPATK agar masalahnya jelas. Pasek juga menantang PPATK untuk membongkar identitas politisi tersebut. “Umumkan siapa-siapa orangnya biar clear,” tandas dia.
Laporan akhir tahun 2012 PPATK melansir sebanyak 42,71 persen anggota legislatif masa jabatan 2009-2014, paling sering terindikasi melakukan dugaan tindak pidana korupsi. “Terindikasi tindak pidana korupsi terjadi periode 2009-2014 sebesar 42.71 persen. Sedangkan paling sedikit terindikasi dugaan tindak pidana korupsi periode 2001-2004 sebesar 1.04 persen,” Ketua PPATK, Muhammad Yusuf dalam jumpa persnya di Kantor PPATK, Jakarta Pusat, Rabu (2/1).
Sebaliknya, anggota DPR periode 2001-2004 dianggap sebagai periode terbersih di DPR. Indikasi tindak pidana korupsi pada masa itu hanya 1,04 persen. Sedangkan jabatan di DPR yang paling banyak melakukan indikasi dugaan tindak pidana korupsi adalah anggota dewan (69,7 persen) dan ketua komisi (10.4 persen).
Namun anggota Komisi III DPR Eva Kusuma Sundari menyarankan agar PPATK tak lantas menyimpulkan transaksi-transaksi yang mencurigakan sebagai tindak korupsi. “Jadi perlu ada penegasan dari penyidik soal status transaksi-transaksi tersebut,” kata Eva.
Bagi Eva, pemerintah seharusnya memprioritaskan pembenahan sistem penganggaran. Hal itu dimaksudkan Eva agar dapat menutup ruang negosiasi dalam pengambilan keputusan alokasi anggaran. “Pemerintah harus mempunyai data base kebutuhan untuk semua sektor di masing-masing daerah. Ketiadaan data base ini menyebabkan negosiasi politisi-politisi pada pihak pemerintah dan menyulut tindak pidana korupsi,” usul politikus PDI Perjuangan ini.
Perbaiki Sistem Pemilu
Secara terpisah, anggota DPR dari Fraksi PAN, Teguh Juwarno menilai laporan PPATK perlu disikapi serius oleh masing-masing fraksi dan partai politik. “Harus kita lihat dalam kerangka yang lebih besar, yakni terkait pilihan sistem pemilu kita. Perlu dievaluasi, karena fenomenanya, pada periode 1999-2004 dan 2004-2009, tidak separah periode ini,” kata Teguh yang juga anggota Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR, Kamis (3/1).
Pada masa 1999-2004 dan 2004-2009, lanjut Teguh, masih diberlakukan nomor urut oleh partai. Sedangkan periode 2009-2014, dilakukan dengan sistem suara terbanyak.
“Maka yang terpilih adalah mereka yang punya duit banyak atau yang populer. Akibatnya, mereka sibuk berusaha untuk mengembalikan biaya yeng dikeluarkan dengam menjadi ‘calo anggaran’ atau menjual ‘pasal’ kepada pihak-pihak yang berwenang terhadap suatu undang-undang,” ujarnya.
Menurutnya, ke depan di pemilu legislatif harus dipertimbangkan kembali sistem suara terbanyak. Tak hanya itu, biaya kampanye juga harus dibatasi, jika perlu dipertimbangkan kembali kampanye dengan menggunakan uang negara. Lebih lanjut, Teguh menganggap masyarakat perlu diberikan pendidikan politik, agar dapat meredam praktik ‘money politic’. “Pendidikan politik yang terus menerus terhadap masyarakat, khususnya untuk tidak mudah tergiur ‘money politic’ yang ujungnya lebih merugikan mereka dalam jangka panjang,” tandasnya. (gam/bud/abe)