JAKARTA – Profile politik lokal di Indonesia amat asimetris (berbeda) dengan politik nasional. Kekuatan dominan di level kabupaten dan kota sering berbeda dengan yang ada di propinsi, berbeda pula dengan di level nasional. Dalam perilaku pemilih, asimetri politik lokal ini tercermin dalam fenomena split-voting saat memilih. Mereka memilih bupati dari partai A, tetapi gubernur dari partai B lainnya lagi. Saat pemilu, mereka memilih anggota DPRD kabupaten atau kota dari partai C, dan untuk DPRD di level propinsi dari partai D. Dalam konteks itu, saya kira sulit memastikan adanya perbandingan lurus antara hasil pilkada dengan hasil pemilihan legislatif (pileg) atau pemilihan presiden (pilpres) nanti,” kata Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng di Jakarta, Senin (14/1).
Meksi demikian, dia menjelaskan fakta tersebut tetap saja tidak otomatis dilihat sebagai perbandingan lurus. Bagi pemilih tradisional, captive market memang terbentuk, tetapi jumlahnya mulai berkurang. Justru yang mengemuka sekarang bukan prilaku pemilih tradisional tapi yang rasional dan bahkan transaksional.
Di sini, perilaku pemilih ditentukan figur calon, bukan mesin partai, termasuk seberapa besar uang yang ditebar sang calon, seberapa terkenal dia secara pribadi, dan seberapa kuat identifikasi pemilih kepada dirinya. “Jadi, keterkenalan dan keterpilihan individu kandidat jauh lebih menentukan ketimbang mesin partai yang mengusungnya,” ujarnya.
Menurutnya, kemenangan calon independen di sejumlah daerah juga membuktikan hal tersebut. Fakta itu yang membuat prilaku pemilih kita cenderung tidak berpola, dan asimetri dalam politik lokal juga terbentuk. “Bukan partai apa yang mengusung Anda, tetapi seberapa hebat figur Anda di mata pemilih? Hebat dari sisi ketokohan, dari sisi uang, dari sisi bukti kontribusi, dari sisi penguasan jaaingan birokrasi dan basis maerial, dan seterusnya,” tegasnya.
Tak Otomatis
Senada dengan Endi Jaweng, peneliti senior dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia ( Formappi) Lucius Karus mengatakan kemenangan parpol di pilkada selama ini tidak otomatis bisa diartikan sebagai kemenangan parpol pada pemilu 2014 nanti. Trend yang berkembang belakangan ini, publik lebih menjadikan figur yang diusung ketimbang parpolnya. Kemenangan figur dari calon independen juga bisa diajukan sebagai bukti bahwa faktor figur menjadi indikator utama dalam pilkada ketimbang parpol. “Tidak bisa menjadikan data kemenangan parpol dalam pilkada sebagai ukuran untuk pemilu 2014. Parpol mengalamai kemunduran dalam membangun kepercayaan publik. Apalagi kebanyakan kasus korupsi itu dilakukan kader untuk menghidupi partainya,” kata Lucius di Jakarta, Senin (14/1).
Dia menjelaskan kondisi atau situasi parpol yang terpuruk belakangan ini membuat publik lebih melirik kualitas calon ketimbang embel-embel parpolnya. Artinya memang parpol tak bisa lagi menjadi faktor utama yang menjadi bahan pertimbangan pemilih. Karena itu, kemenangan parpol tertentu dalam pilkada selama ini tak lalu otomatis menjadi gambaran awal konfigurasi parpol pemenang dalam pemilu 2014. Parpol cenderung diselamatkan oleh satu-dua kadernya yang berintegritas dan berkarakter dalam pilkada-pilkada itu. Parpol hanya dipakai sebagai pintu masuk untuk memudahkan calon-calon itu melewati proses pemilukada.
“Lihat saja beberapa kasus di mana calon unggulan di pilkada daerah tertentu yang memilih jalur independen (non-parpol) dalam pilkada. Mereka bisa mengungguli calon dari parpol karena keunggulan personality calonnya, dan pada saat yang sama track-record parpol semakin buruk. Jadi, jualan politik paling utama untuk pemilu 2014 adalah integritas calon yang bersangkutan, bukan lagi parpol pengusung,” tuturnya.
Menurutnya, Pilkada tetap menjadi prioritas parpol selama ini karena pertama-tama melihat bahwa pilkada masih menjadi momentum strategis untuk menarik simpati. Kemenangan calon-calon pemimpin dalam pilkada sekaligus dijadikan partai politik untuk menunjukkan bahwa parpol masih mempunyai daya tarik dengan satu-dua kadernya yang berintegritas. Jadi lebih tepat, agenda parpol mendompleng pada calon-calon di pilkada itu untuk menarik simpati warga masyarakat di daerah bersangkutan. (gam)