SUMENEP – Peraturan Daerah Pemberantasan Buta Hurup dan Baca Tulis (Batul) Al-Quran bagi siswa dinilai melanggar Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Perda tersebut menuai sorotan karena akan melahirkan perda-perda syariah sejenis yang akan merugikan kelompok tertentu.
Hal itu diungkapkan Ketua PGRI Sumenep Noer Hamzah, Senin (07/01). Menurutnya perda tersebut justru mengkerdilkan tujuan demokratisasi pendidikan.
“Saya malah khawatir anak-anak kita nanti akan pindah agama, karena di luar Islam tak dikenai kewajiban batul itu,”kata anggota Dewan Pendidikan Sumenep tersebut.
Perda tersebut juga akan memicu konflik antar agama karena ada pihak tertentu yang dirugikan dengan berlakunya perda tersebut. Menurut Ketua STKIP PGRI Sumenep, Musaheri, perda tersebut akan menyinggung pihak-pihak minoritas karena tidak mendapatkan hak dan perlakuan yang sama.
“Kelahiran perda itu sebetulnya telah melanggar UU Sikdisnas No 20 tentang Prinsip-Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan Nasional yang ditegakkan dengan nilai-nilai demokratis, bertumpu pada penghormatan hak asasi manusia dan menghargai keragaman,” katanya.
Ia mempertanyakan teknis kebijakan tersebut untuk pelajar non muslim. “Bagaimana yang nasrani, jika mau masuk SMP 1?” tanya Musaheri.
Dia menambahkan, perda tersebut juga menimbulkan diskriminasi dan tidak seirama dengan spirit NKRI.
Anggota Komisi C DPRD Sumenep Noer Asyur, menceritakan, lahirnya perda tersebut dilatarbelakangi oleh kondisi pendidikan yang memperihatinkan. Salah satu contohnya adalah sedikitnya muatan pendidikan agama, sehingga sulit menanamkan nilai-nilai iman dan takwa.
“Tujuan utama pendidikan nasional tidak boleh menampik Imtak,” jelas politisi PKS tersebut.
MUI: Jangan Hanya Berlaku Pada Siswa
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumenep dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Sumenep, KH. Safraji menilai, perda tersebut sangat pas dengan kondisi masyarakat Sumenep yang dikenal negeri santri. Ia berharap, perda tersebut tak hanya berlaku pada siswa, tapi kepada masyarakat secara umum. “Perda itu jangan hanya untuk siswa. Orang yang mau kawin juga harus bisa baca Al Qur’an,” katanya.
Pernyataan tak jauh beda diungkapakan Ketua Crisis Woman Centre Dewi Kholifah, dia menekankan perda itu jangan diperuntukkan kepada para siswa, namun kepada pihak eksekutif untuk memberi contoh.
“Saya berani taruhan, para eksekutif itu tidak banyak yang bisa membaca Al-Qur’an,” tantangnya terang-terangan. (tink/mk)