JAKARTA – Upaya memberantas korupsi di Indonesia ternyata masih jauh dari harapan masyarakat. Hal ini terjadi karena para penegak hukum belum memiliki semangat dan target memiskinkan koruptor. “Sejauh ini saya melihat para penegak hukum terkungkung banyak kepentingan dengan semangat pemiskinan koruptor itu,” peneliti di Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Universitas Andalas, Feri Amsari, di Jakarta, Senin (14/1).
Sangat kontras dengan Singapura yang menghukum pejabat yang mendapat suap seks, termasuk China yang menghukum mati koruptor. Namun di Indonesia, koruptor masih mendapatkan hukuman ringan. “Idealnya memang seluruh aparat mulai dari kepolisian, kejaksaan, KPK, peradilan memahami tujuan pemiskinan itu,” tambahnya.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas ini menambahkan pemiskinan koruptor adalah salah satu cara yang efektif membuat koruptor jera. Sehingga korupsi bisa ditekan seminimal mungkin. “UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) salah satunya penyitaan aset. Itu menurut saya bisa dimanfaatkan untuk pemiskinan para koruptor,” paparnya.
Dikatakan Fery lagi, selain menghukum koruptor secara pisik dengan berat, juga harus dihukum secara harta dengan melakukan penyitaan. Hal inilah yang akan membuat orang berpikir ulang untuk korupsi. “Namun sayang aparat penegak hukum masih setengah hati dan belum mengerti sepenuhnya tujuan hukuman pemiskinan tersebut,” terangnya.
Contoh lainnya di Australia, lanjut Feri, jika seseorang tidak mampu membuktikan asal hartanya dengan sumber pemasukan. Maka harta itu disita negara. Ini merupakan hukuman yang tegas bagi pelaku korupsi. “Di Indonesia sudah dinyatakan terpidana terlibat korupsi bermiliar-miliar yang disita negara cuma Rp 250 juta. Jadi pemiskinan itu hanya bisa efektif jikalau aparat penegak hukumnya tahu maksud dan tujuan pemiskinan koruptor,” imbuhnya.
Sementara itu, anggota Komisi III DPR Martin Hutabarat berharap putusan sidang banding KPK dapat memenuhi rasa keadilan semua pihak. “Syukurlah KPK dengan cepat memutuskan untuk mengajukan banding atas putusan tersebut, sehingga reaksi yang berlebihan tidak sempat meluas dari masyarakat,” ujarnya.
Menurut Martin, banyak yang mengecam hukuman 4,5 tahun untuk Angie yang jauh dari tuntutan jaksa, yaitu 12 tahun. Apalagi vonis itu tak disertai hukuman untuk mengganti kerugian negara. “Rasa keadilan masyarakat telah terusik,” tegasnya
Oleh karenanya, Politis Partai Gerindra ini mendukung langkah KPK untuk mengajukan banding. Ketua Fraksi Gerindra MPR itu berharap agar putusan banding nanti bisa memenuhi rasa keadilan semua pihak. “Kita berharap agar putusan Banding nantinya dapat memberi rasa keadilan bagi semua pihak, baik bagi Angie sendiri maupun bagi masyarakat yang merasa terluka dengan putusan yang rendah 4,5 tahun tersebut. Tetapi dengan tetap berada dalam koridor hukum yang ada,” cetusnya. (cea)