JAKARTA – Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia 98 (PPMI 98) menggelar aksi demonstrasi menentang kebijakan pemerintah menaikan tarif dasar listrik (TDL) sebesar 15 persen. Dalam orasinya, mereka mendesak pemerintah membatalkan kenaikan TDL. Pasalnya, kenaikkan TDL sangat merugikan rakyat, khususnya pekerja Indonesia. “Kami meminta kepada pemerintah melalui Kementerian ESDM agar segera membatalkan kenaikan TDL. Pasalnya, kenaikan TDL ini hanya menguntungkan kaum kapitalis,” ujar Juru bicara PPMI 98, Emil di depan Gedung Kementerian ESDM, Jakarta, Rabu (2/1).
Pemerintah memastikan kenaikan tarif listrik mulai 1 Januari 2013. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik mengatakan kenaikan dilakukan bertahap setiap tiga bulan dengan rata-rata kenaikan sebesar 15 persen selama satu tahun. Untuk tiga bulan pertama, kenaikannya sebesar 4,3 persen.
Kenaikan tarif listrik ini berbeda-beda setiap kelompok pelanggan. Untuk pelanggan rumah tangga dengan daya 450-900 volt ampere, tidak ada kenaikan. Sedangkan pelanggan rumah tangga, bisnis, dan pemerintah dengan daya 6.600 volt ampere atau lebih harus membayar dengan harga keekonomian, terdiri atas biaya pokok produksi Rp 1.261 per kilowatt-jam ditambah margin 7 persen.
Menurut Emil, kebijakan Kementerian ESDM menaikkan TDL per 1 Januari 2013 menambah masalah bagi rakyat Indonesia, khususnya bagi nasib jutaan buruh/pekerja. “Kalangan pengusaha dipastikan juga akan menerima dampak langsung dari ketidakbijakan pemerintah tersebut, karena kenaikan TDL akan menambah beban pengusaha. Beban pengusaha tentu saja akan tanggung oleh pekerja dan konsumen, sehingga secara langsung ketidakbijakan pemerintah tersebut menumbalkan nasib jutaan pekerja Indonesia,” jelasnya.
Dia mengkhawatirkan, kenaikan TDL hanya sebagai alasan untuk melakukan rasionalisasi pemutusan hubungan kerja (PHK) para pekerjanya atau mengalihkan status pekerja tetapnya menjadi pekerja kontrak. “Inilah kekhawatiran besar para pekerja hari ini, bersiap menjadi tumbal dari ketidakbijakan pemerintah, karena memang selama ini mereka selalu dijadikan pion terakhir dalam pengambil keputusan penting pemerintah,” tandasnya.
Secara terpisah, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia Said Iqbal, kenaikan tarif listrik akan memicu harga barang kebutuhan sehari-hari. “Buruh juga akan dipaksa membayar kontrakan lebih tinggi,” katanya.
Said menuturkan banyak rumah kontrakan dan kredit kepemilikan rumah buruh yang menggunakan listrik di atas 450 dan 900 kwh. Akibatnya, buruh akan mengalami kenaikan pembayaran listrik bulanan sekitar Rp 15-25 ribu per bulan. Artinya, kata Said, kenaikan upah buruh akan turun 5 persen dari kenaikan rata-rata upah minimum sebesar Rp 500-700 ribu per bulan. “Daya beli buruh akan menurun,” ucap Said.
Kenaikan tarif listrik akan memicu kenaikan harga barang-barang lain, terutama barang olahan yang pabriknya menggunakan listrik, termasuk pemilik rumah kontrakan. Pemilik kontrakan buruh sudah berancang-ancang menaikan harga sewa Rp 50 ribu Rp 100 ribu per bulan sehingga kenaikan upah jadi sia-sia. Bahkan pengembang, berencana menaikan harga rumah sehingga akan makin mempersulit buruh untuk membeli rumah milik sendiri.
Menurut Said, pengusaha akan menekan biaya lain dan yang paling mudah akan menekan biaya buruh. “Yaitu menekan kenaikan berkala tahunan upah buruh yang bermasa kerja di atas satu tahun atau menghapus tunjangan transportasi dan tunjangan lain yang sudah dijadikan satu dengan nilai kenaikan upah minimum yang diterima buruh,” aktivis buruh ini menjelaskan.
Penerima Subsidi
Sementara itu, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rudi Rubiandini menyebutkan, terdapat 10 besar penerima subsidi listrik pada 2013 sebesar Rp78,63 triliun.
“Pemerintah menyediakan kebutuhan Subsidi Listrik Tahun Berjalan 2013 mencapai Rp78,63 triliun,” ujarnya di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Rabu (2/1).
Dikatakannya, penerima subsidi terbesar masih diterima oleh pelanggan 450 volt amper (VA) dan 900 VA yang mencapai Rp41,14 triliun atau sekitar 51 persen dari total subsidi.
“Walaupun memperoleh subsidi terbesar tetapi pelanggan 450 VA dan 900 VA juga termasuk pelanggan terbesar mencapai 39,18 juta pelanggan,” tuturnya.
Sedangkan subsidi yang diterima oleh kalangan industri mulai dari golongan I2 atau pelanggan dari 14 kilo Volt amper (kVa) hingga 200 kVa, I3 atau golongan lebih dari 200 kVa, dan I4 atau golongan 30 ribu kVa keatas mencapai Rp19,95 triliun atau 25,4 persen dari total subsidi. Total pelanggan industri sendiri hanya mencapai 41,9 ribu pelanggan.
Selain itu, lanjut Rudi, untuk golongan R1 kapasitas 1300 VA memperoleh subsidi di tahun 2013 sebanyak Rp5,6 triliun dengan total pelanggan 5,8 juta, R1 kapasitas 2200 VA memperoleh subsidi sebesar Rp3,26 triliun dengan total 1,84 juta pelanggan, dan R2 kapasitas 3500-5500 memperoleh subsidi sebesar Rp1,51 triliun dengan total pelanggan mencapai 326 ribu pelanggan.
“Seharusnya pengusaha jangan teriak-teriak, walau 450 dan 900 mendapat subsidi terbesar dan digunakan untuk yang tidak produktif, tapi pelanggannya memang paling besar. Jika dibandingkan I4 yang pelanggannya hanya 74 pelanggan, tidak ada apa-apanya itu” jelasnya.
Selain itu untuk P3 atau instansi Pemerintah memperoleh subsidi sebesar Rp151 triliun dengan pelanggan sebanyak 31 ribu pelanggan. Lalu untuk B1/bisnis atau pelanggan 22000 VA hingga 5500 VA memperoleh subsidi sebanyak 1,08 VA dengan total pelanggan 150 ribu pelanggan. (gam)