SURABAYA – Praktisi Hukum Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, I Wayan Titip mengapresiasikan kinerja Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Timur yang telah berhasil mengungkap kasus gratifikasi dana Jasa pungut (japung) Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya sebesar Rp 720 juta hingga menjadikan Ketua DPRD Kota Surabaya, Musyafak Rouf dan Tiga pejabat Pemkot Surabaya yakni Sekkota, Soekamto Hadi, Mantan Kepala Dinas Pendapatan dan Pengelolahan Keuangan, Purwito dan Assiten II Sekkota Muhlas Udin menjadi terpidana.Namun, Wayan menyesalkan bila kasus itu hanya berhenti di empat terpidana. Pria kelahiran Klungkung Bali itu berharap mantan Walikota Bambang Dwi Hartono selaku pembuat kebijakan atas pencairan dana hibah japung itu juga harus diseret ke peradilan.
“Ya, Polda Jatim harus mengangkat kasus itu lagi, kenapa hanya pelaksana dan penerima gratifikasi saja yang diseret ke peradilan, padahal Bambang DH selaku Walikota Surabaya saat itu sebagai pembuat kebijakan, bisa dibilang dia sebagai pemberi suap itu tapi kok tidak disentuh, ada apa ini?, “ungkap dia saat dikonfirmasi melalui selulernya, Minggu (17/2) kemarin.
Selain itu Wayan menilai, pengungkapan keterlibatan mantan Walikota itu diharapkan dapat membuka tabir kebusukan di elite politik lainnya. Pasalnya, para oknum elite politik yang diduduk dikursi DPRD Kota Surabaya diduganya juga ikut merasakan aliran pundi pundi suap itu.
“Kalau Bambang diusut, pasti anggota dewan lainnya juga tersentuh. Karena aliran dana gratifikasi itu juga dibuat bancaan oleh para anggota dewan lainnya, tapi apa hasilnya, didewan cuma Musyafak saja yang dibuikan, “tandas dia.
Saat ditanya siapa saja anggota dewan yang menerima aliran dana segar dalam bentuk suap tersebut, Wayan enggan menanggpinya. Baginya hal itu adalah kewenangan pihak Kepolisian. ” Kalau saya ditanya itu ya nggak mungkin saya jawab, meski sudah ada data yang masuk di kita dari temuan beberapa LSM, itu lebih tepat ditanyakan ke polisi. Karena mereka lebih tau,” ujar dia.
Seperti diketahui, kasus gratifikasi japung ini terungkap pada 2007 lalu. Saat itu Musyafak Rouf selaku Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya menghubungi Sekkota Pemkot Surabaya, Soekamto Hadi yang meminta dengan maksud meminta uang lelah dari retribusi pajak.
Permintaan Musyafak lantas dimintakan persetujuan ke Walikota Surabaya yang kala itu dijabat oleh Bambang DH. Alhasil, permintaan Musyafak disetujui oleh Bambang DH lalu memeritahkan Mantan Kepala Dinas Pendapatan dan Pengelolahan Keuangan, Purwito untuk menghitung pendapatan dari retribusi pajak yang diterima Pemkot Surabaya dan hasilnya ketemu hitungan presentasinya sebesar Rp 720 juta. Temuan itu lalu disampaikan ke Soekamto hingga ke Bambang.
Nah saat itulah Soekamto diperintah secara lisan Bambang DH untuk memberikan dana japung itu ke Musyafak Rouf. Setelah mendapatkan perintah lisan, lantas Soekamto memerintahkan Poerwito mencairkan dana tersebut. Melalui Assiten II Sekkota Muhlas Udin dana itu diserahkan ke Musyafak Rouf.
Setelah diterima Musyafak, Aliran dana itu langsung di bagi-bagikan ke para anggota dewan dengan rincian Rp 250 juta dikantongi Musyafak dan sisanya 470 juta dibagi ke anggota dewan lainnya.
Sialnya, kasus itu tercium oleh kepolisian dan akhirnya polisi menetapkan Musyafak, Soekamto, Poerwito dan Muhlas Udin sebagai tersangka hingga terpidana. Sedangkan alasan polisi tidak menjerat Bambang DH, lantaran perintah yang diamanatkan ke Soekamto hanyalah lisan bukan tertulis. Sedangkan tidak dijadikannya tersangka bagi para anggota dewan lain yang ikut menerima aliran japung itu lantaran mereka telah mengembalikannya ke rekening milik Pemkot Surabaya. (kas/han).