SUMENEP – Guru sukwan dan honorer di Kabupaten Sumenep saat ini sebanyak 6.000 orang. Jumlah tersebut melebihi guru yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS) yang hanya sekitar 4.000 orang. Tingginya jumlah guru honorer dan sukwan itu ditengarai karena pemerintah tidak mempunyai data yang valid terkait kebutuhan tenaga pendidik.
Anggota Komisi D DPRD Sumenep Nur Asyur mengatakan, angka guru honorer dan sukwan itu dinilai sangat tidak wajar, sebab sampai melebihi jumlah tenaga pendidik yang berstatus PNS. Padahal, tenaga pendidik berupa sukwan dan honorer itu diangkat oleh kepala sekolah dan biaya operasionalnya tidak boleh dibebankan kepada pemeritnah.
“Kami heran juga, kok bisa jumlah guru sukwan dan honorer itu melebihi guru PNS, itu berarti kan pemerintah sudah tidak mempunyai data valid terkait kebutuhannya akan guru. Sebab, pengangkatan guru sukwan dan honorer itu merupakan kewenangan kepala sekolah dan sekolah juga mengacu pada kebutuhan,” kata Nur Asyur, Selasa (19/2).
Dia menjelaskan, banyaknya jumlah guru honorer dibandingkan guru PNS mengindikasikan pemerintah tidak melakukan validasi data terkait kebutuhan guru secara riil. Jika Dinas Pendidikan mempunyai data kebutuhan riil akan guru, menurut politisi PKS tersebut, maka pihak sekolah tidak harus mengangkat guru sukwan yang jumlahnya sampai melebihi guru PNS.
“Sebenarnya kan bisa diantisipasi. Berapa tahun lagi akan ada guru yang akan memasuki masa purna tugas. Dari situ pemerintah bisa mengangkat guru melalui jalur rekrutmen PNS. Kalau tidak ada planning yang jelas, ya jadinya seperti saat ini,” paparnya.
Dengan kondisi guru seperti sekarang, Bupati Sumenep, sambungnya, seharusnya memanggil Badan Kepegawayan Daerah (BKD) dan Dinas Pendidikan terkait data kebutuhan guru secara riil di semua tingkatan. Dengan adanya data kebutuhan guru yang kongkrit, maka pemerintah bisa mengantisipasi terhadap kekosongan guru di sejumlah sekolah.
“Kami sering mendengar, bahwa Disdik juga lambat dalam mendistribusikan guru kepada sekolah yang mebutuhkannya. Itu semua disebabkan tidak ada planning yang jelas dari Pemkab. Tidak mencatat berapa guru yang akan pensiun tahun ini. Kalau misalnya sudah ada catatan berapa guru yang akan pensiun maka tidak akan sampai terjadi kelambatan mendistribusikan guru dan tidak ada alasan untuk mengangkat guru honorer,” jelasnya.
Ia berharap, Bupati bersikap lebih tegas lagi. Sebab, jika jumlah guru honorer dan sukwan itu terus bertambah, maka lambat laun akan menjadi beban Pemkab. “Berapa jumlah guru yang dibutuhkan harus jelas dan jangan sampai lambat mengisi guru yang telah pensiun,” ujarnya.
Terkait dengan raperda tentang kebebasan kepala sekolah mengangkatan guru sokwan, ia mengaku tidak setuju karena dinilai tidak efektif dalam mengangkat tenaga kependidikan dan membuat kesalahan penempatan dalam pergantian guru.
Nur Asyur tetap menginginkan pemegang kebijakan berada di kepala keperintahan dan Badan Kepegawaian Daerah (BKD), sehingga mudah dalam melakuakn pendataan, di samping akan memberi kemajuan tersendiri terhadap kualitas pendidikan ke depan.
Ke depan, ia berharap pengangkatan guru melalui prosedur yang benar.
“Dalam pengajuan pengangkatan PNS yang benar adalah dari kepala sekolah mengajukan kepada yang berhak melalui UPT setempat, lalu UPT setempat mengajukan kepada Dinas terkait baru dinas terkait mengajukan ke BKD” tandasnya. (rif/sai/edy/mk)