Heboh bocornya sprindik KPK terkait keputusan Anas Urbaningrum menjadi tersangka dalam kasus Hambalang, pelan tapi pasti mulai tenggelam. Kasus itu seakan menghilang berbareng berakhirnya pelaksanaan Rapimnas Partai Demokrat. Apakah soal sprindik dianggap selesai?
KPK sebenarnya sebagaimana ditegaskan oleh juru bicaranya Johan Budi telah membentuk tim investigasi. Istana yang sempat disebut-sebut sebagai muara bocornya sprindik, melalui juru bicara Presiden Julian Aldhi, juga sempat memberikan penjelasan yang bernada bersayap hingga tak cukup menjernihkan. Sayangnya, sampai saat ini, persoalan sprindik seperti mengambang dan pelan-pelan menghilang. Dan seakan mengikuti arus perjalanan pemberitaan, persoalan sprindik, pelan tapi pasti mulai tergeser persoalan lain.
Kita tentu saja berharap terutama KPK mengusut kasus bocornya sprindik itu sampai tuntas ke akar-akarnya. Sebab, tanpa harus menjadi seorang sangat cerdas, bocornya sprindik KPK terkait kasus Hambalang itu jelas sekali sarat muatan kepentingan politik. Ada aroma sangat tajam yang menegaskan bocornya sprindik menjadi senjata politik untuk memukul lawan politik.
Kasus yang disebut mantan Ketua Umum Muhammadiyah M. Syafii Maarif sebagai sangat serius itu, bila dibiarkan mengambang bukan tidak mungkin terulang kembali dan menjadi kebiasaan dijadikan amunisi politik. Terbuka ruang menggiring KPK ke luar dari desain besar awalnya sebagai insitusi untuk memberantas kejahatan luar biasa, bernama korupsi. Itu juga berarti pelan tapi pasti menyeret KPK dalam pusaran keras permainan dan pertarungan politik. Dan jika skenario itu terjadi, alangkah nestapanya bangsa ini. Alangkah tragisnya bangsa ini karena kehilangan satu-satunya lembaga hukum yang dianggap masih memberikan harapan upaya pemberantasan korupsi di negeri ini.
Karena itu masyarakat Indonesia harus terus mempertanyakan dan mengawal penuntasan persoalan bocornya sprindik itu bila bangsa ini tak ingin makin tenggelam dalam kubangan persoalan korupsi. Membiarkan mengambang, berlalu tanpa kejelasan, sama saja dengan membiarkan terbuka ruang penyelesaian persoalan hukum dengan kompromi politik. Hukum akhirnya terkooptasi kepentingan politik. Makin hancurlah dunia hukum yang sudah carut marut itu.
Sebaliknya bila persoalan itu tuntas dan mereka yang terlibat dikenakan sanksi hukum yang seberat-beratnya, secara internal KPK telah melakukan sterilisasi dari upaya-upaya untuk menyeret KPK sebagai alat kepentingan politik. Penuntasan itu, niscaya juga akan mengembalikan wibawa KPK dari prasangka-prasangka buram yang menduga KPK menjadi alat kepentingan politik.
Tentu di luar persoalan besar, secara teknis menegemen KPK harus berbenah agar tak terulang kembali dan KPK menyegarkan kesadaran bahwa sebagai kekuatan pemberantasan korupsi, selalu dan akan selalu digoda, diseret untuk dijadikan alat kepentingan.