JAKARTA- Rancangan Undang-Undang (RUU) Perdagangan yang kini sedang dibahas di Komisi VI DPR sebaiknya ditolak. Alasanya RUU ini justru berpotensi menjadikan Indonesia menjadi lebih terjajah secara ekonomi. “RUU ini dikembalikan saja kepada pemerintah. Dalam naskah akademik disebutkan pemerintah berada di luar mekanisme pasar,” kata pengamat ekonom Revrisond Baswir dalam diskusi “Kajian RUU tentang Perdagangan” di Fraksi Partai Gerindra, Jakarta, Jumat (8/2).
Menurut Dosen FE UGM ini, sangat jelas semangat dari RUU ini menginginkan agar perdagangan tidak dibuat regulasi. Jadi, jual beli tanah, jual beli air, jual beli pulau tidak diatur. “Karena itusebelum membahas Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), sebaiknya naskah akademiknya diperbaiki,” ujarnya.
Mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) Burhanuddin Abdullah juga berpendapat yang sama, yakni RUU ini dinilai sarat kepentingan asing. Apalagi sudah lama, asing itu memperlihatkan posisi Indonesia tidak dipandang. Karena itu, dalam RUU Perdagangan pun, sangat mungkin kepentingan asing itu bermain.
Menurut Burhanuddin, sudah lama posisi Indonesia di dunia internasional tidak dipandang. Suara Indonesia dalam bidang perdagangan dan ekonomi juga tidak pernah dianggap. “Pernah dalam pertemuan dengan IMF, Indonesia, Amerika dan Perancis masing-masing punya konsep. Tapi Direktur IMF kala itu Michel Camdessus malah bertanya, Indonesia mau ikut konsep Amerika atau Perancis?” ungkapnya
Sementara anggota Komisi VI dari FP Gerindra Edhy Prabowo mengatakan, naskah akademik sering hanya sekadar formalitas. Apalagi RUU usul pemerintah ini selalu tertunda pembahasannya.
Sampai saat ini, kata Edhy, Indonesia belum memiliki Undang-undang Perdagangan. Produk hukum setara undang-undang masih mengacu pada hukum kolonial Belanda BRO 1934 yang lebih banyak mengatur tentang perizinan usaha. Sedangkan produk hukum lainnya diatur secara terpisah. Salah satu alasan lamanya pembahasan RUU Perdagangan ini adalah belum tuntasnya sinkronisasi antarkementerian.
Sedangkan Ketua Fraksi Partai Gerindra Ahmad Muzani memandang RUU ini belum memberikan kepastian hukum terkait aspek yang sangat mendasar, yaitu keberadaan faktor-faktor produksi yang penting bagi negara dan mempengaruhi hajat hidup orang banyak dalam kaitannya dengan perdagangan.
Kemudian pengaturan hubungan dagang yang disinergikan dengan kebutuhan untuk mewujudkan kemandirian ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat dan menjaga stabilitas perekonomian nasional. “Dalam hal kerja sama dagang, khususnya terkait kerja sama dagang regional dan internasional, belum menunjukkan adanya ketegasan dalam melindungi kepentingan nasional kita,” katanya. (cea)