SURABAYA– Kejaksaan Negeri (Kejari) Surabaya terkesan melunak terhadap keluh kesah berupa surat yang dilayangkan tiga terpidana gratifikasi dana jasa pungut (japung), Yakni Sekkota, Soekamto Hadi, Mantan Kepala Dinas Pendapatan dan Pengelolahan Keuangan, Purwito dan Assiten II Sekkota Muhlas Udin melalui dua pengacaranya, yaitu George Handiwiyanto dan Ricard yang meminta Kejaksaan supaya memberikan waktu penundaan eksekusi, Senin (18/2) kemarin.George dan Ricard mendatangi Kejari Surabaya sekitar jam 11.15 Wib dengan mengendarai mobil Toyota Alphard warna hitam. Saat turun dari mobilnya dua pengacara trio terpidana gratifikasi japung itu langsung menemui Kepala Seksi Pidana Khusus (Kasipidsus) Kejari Surabaya, Nurcahyo Jungkung Madyo, dengan membawa surat permohonan penundaan pelaksanaan eksekusi,
“Kita minta waktu penundaan eksekusi, alasannya belum ada kesiapan mental dari pak Soekamto dan pak Muhlas Udin, sedangkan pak Poerwito masih dalam kondisi sakit,”ujar dia usai menemui Kasipidus di lantai 2 Kantor Kejari Surabaya Jalan Sukomanunggal.
Saat ditanya apakah, kliennya masih bersikap koopertaif , seperti janji tiga terpidana gratifikasi japung itu yang sebelumnya berjanji akan menyerahkan diri pada 18/2 kemarin,”sejauh ini kita kooperatif, kita selalu mendatangi panggilan Kejaksaan. Dan masalah janji itu bukan dipastikan datang tapi diusahakan datang. Ya karena tekanan pskikis itulah mereka kurang mengontrol omongan,”pungkas dia
Lantas, kapan mereka akan menyerahkan diri terkait status hukumnya?,”kita tidak mau berandai andai,kalau sudah waktunya pasti anda akan tau,”kelit dia pada sejumlah awak media yang sejak pagi telah berada di Kejari Surabaya.
Sementara, saat ditanya sanksi hukum internal PNS apakah yang telah dijatuhkan ke kliennya baik berupa pencopotan jabatan hingga pemecatan,”saya belum tau dan itu bukan menjadi kewenangan saya untuk menjelaskan,”kelit dia.
Terpisah, Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Surabaya, Mohammad Dhofir mengakui telah menerima surat permohonan penundaan pelaksanaan eksekusi itu.
Diakui Dhofir, surat permohonan merupakan sikap kooperatif dari ketiga birokrat tersebut,”sudah, kami sudah menerima surat permohonannya dari Pak George. Bagi kami mereka masih dibilang kooperatif,”kata Dia sambil menunjukkan tiga lembar surat dari tiga terpidana grtifikasi Japung.
Saat ditunjukan surat tersebut oleh Dhofir , para awak media sangat dikejutkan alasan penundaan pelaksanaan eksekusi tersebut yang menyebutkan akibat pemberitaan media menyebabkan dampak psikis bagi keluarga trio terpidana itu,
“yang jelas disini dikatakan ‘menyikapi banyaknya pemberitaan kami yang ada baik dimedia cetak maupun media elektronik menimbulkan dampak kondisi psikologis isteri dan anak-anak kami yang semakin tidak siap untuk menghadapi hal ini. Dan untuk itu saya mohon kepada Bapak agar diberikan kelonggaran waktu kepada saya agar saya dapat meyakinkan dan memberikan pengertian kepada keluarga saya terkait permasalahan ini’,”jelas Dhofir saat membacakan isi surat dari Soekamto.
Saat ditanya kepastian jadwal eksekusinya, Dhofir mengaku tak akan memberikan janji kepada media,”saya tidak akan berjanji, andai tadi mereka datang ya sudah kita ekseksui,”kata Dhofir sambil menyatakan prilaku, Soekamto,Poerwito dan Muhlas Udin berbeda dengan Musyafak Rouf (terpidana yang lebih dulu di eksekusi).
Sementara, Praktisi Hukum Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, I Wayan Titip Sulaksana menyatakan keprihatinan terhadap alasan trio terpidana gratifikasi japung itu. Pasalnya bagi pria kelahiran Klungkung Bali tersebut, Media merupakan jembatan informasi yang tidak pantas untuk disalahkan,
“ini kan sangat lucu, kok pemberitaan media dijadikan alasan kesiapan psikis, kenapa waktu melakukan gratifikasi tidak dipikir dulu.kalau sudah begini baru mereka malu. Media itu dilindungi undang undang lho kok sekarang disudutkan hanya untuk kepentingan pribadi,”kata Wayan saat dikonfirmasi melalui Ponselnya kemarin.
Seperti diketahui, panggilan eksekusi yang tidak dihadiri Soekamto dkk merupakan panggilan ke 2 yang dilayangkan Kejari Surabya atas pelaksanaan putusan kasasi MA.
Dalam putusan nomor 1465 K//Pid.Sus/2010, tiga majelis hakim tingkat kasasi di MA yang terdiri dari hakim agung Prof Rehngena Purba, Suwardi dan Imron Anwari. menjatuhkan hukuman satu tahun enam bulan terhadap Soekamto, Muhlas dan Purwito. Selain itu mereka juga dihukum untuk membayar denda sebesar Rp 50 juta subsider 5 bulan kurungan
Soekamto, Purwito dan Muhlas Udin terbukti melanggar pasal 3 undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi. dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi telah menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Soekamto dkk telah memberikan uang jasa pungut sebesar Rp 720 juta kepada Musyafak Rouf. Pemberian itu menyalahi ketentuan karena sesuai peraturan pemerintah nomor 24 tahun 2004, anggota dewan hanya diperbolehkan menerima uang representasi, uang paket, tunjangan jabatan, tunjangan panitia musyawarah, tunjangan panitia anggaran, tunjangan komisi, tunjangan badan kehormatan dan tunjangan alat kelengkapan lainnya.
Musyafak tanpa melalui rapat dewan atau peraturan daerah meminta secara lisan uang japung itu ke walikota melalui Muhlas Udin.
Dari Rp 720 juta yang diberikan itu, sebanyak Rp 470 juta diberikan oleh Soekamto Hadi dan digunakan untuk Musyafak pribadi. Sementara Rp 250 juta diberikan oleh Muhlas Udin yang kemudian oleh Musyafak dibagi-bagikan ke anggota DPRD Surabaya lainnya.
Ketika persidanganya digelar di peradilan tingkat pertama yakni PN Surabaya pada Maret 2012, Majelis hakim yang diketuai IGN Astawa menyatakan perbuatan Soekamto, Muhlas Udin, Purwito tidak terbukti dan dibebaskan secara murni atau istilah hukum disebut vrispracht.
Namun putusan bebas tersebut mendapatkan perlawanan dari Kejari Surabaya dalam bentuk mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung hingga akhirnya Kejaksaan menang, Soekamto dkk dinyatakan terbukti korupsi. (kas)