PROBOLINGGO – Bagi sebagian orang, barang-barang dari tanah liat masih menjadi kebutuhan yang tak terelakkan. Mereka membutuhkannya sebagai wadah ari-ari bayi yang baru lahir, untuk menyediakan air segar di depan rumah.
Ada pula yang membutuhkannya sebagai pelengkap sesajen. Sebagian lagi, terutama yang menyukai aroma-aroma tradisional, memiliki gerabah seakan mengungkit kenangan masa lalu.
Pria asli Kota Probolinggo yang tinggal di Jl. Panglima Sudirman, RT 03 RW 07 Kelurahan Jati Kecamatan Mayangan Kota Probolinggo dengan sabar membersihkan aneka gerabah dagangannya.
Kakek berusia 60 tahun tersebut, mengaku bahwa kios yang ada di Pasar Baru miliknya itu merupakan warisan turun temurun dari orang tuanya.
“Kios ini sudah ada sejak zaman Presiden Bung Karno, milik kakek buyut saya dan diwariskan turun-temurun sampai kepada saya,” ujar Yusri tersenyum, Rabu (29/5).
Yusri mengaku, gerabah dari tanah liat sudah mulai kalah pasar dibandingkan gerabah yang terbuat dari plastik. Saat ini gerabah semacam itu banyak ditemui di pasar, juga di penjual-penjual plastik kebutuhan rumah tangga yang keliling kampung.
“Bersaingnya sama gerabah yang dari plastik itu, harganya murah. Lima ribu saja sudah dapat yang besar,” ucapnya.
Namun ia tetap bertahan menjual gerabah-gerabahnya karena usaha tersebut merupakan warisan orang tua. Bahkan yakin pembelinya akan terus ada. Lagipula, ia telah terbuai nikmat berjualan gerabah.“Barangnya awet, nggak seperti makanan yang bisa busuk. Jadi jualannya bisa santai,” imbuh Yusri.
Setiap kali pasokan barang datang, Yusri mengakui beberapa pasti pecah, karena bahan dasarnya tanah liat. Tetapi semangat berjualannya selama dua puluh tahun lamanya tidak semudah itu pecah. Meskipun zaman boleh dikata telah modern, para penjual gerabah di Pasar Baru tetap setia pada usaha turun temurun mereka. Meski secuil, berkah dari penjualan gerabah telah menghidupi mereka.
Aneka gerabah yang didatangkan dari Desa Kandang Jati Kraksaan Kabupaten Probolinggo itu, antara lain berupa kendi, kendhil, anglo, cobek, dan ngaron. Gerabah-gerabah tersebut biasa digunakan untuk upacara-upacara adat seperti selamatan atau sajen.
Kendhil misalnya, selain untuk merebus jamu, menurut orang Jawa biasa digunakan untuk tempat ari-ari bayi yang baru lahir sebelum dikubur ke tanah. Gerabah tersebut didatangkan langsung oleh para perajinnya tiap satu bulan sekali. Sekali datang, mereka menyupai untuk beberapa kios yang ada di Pasar Baru tersebut.
Pembayaran dilakukan seminggu setelah barang datang, dan apabila stok habis, para pedagang bisa langsung memesan ke supplier. Gerabah dari Desa Kandang Jati Kraksaan Kabupaten Probolinggo memiliki karakteristik berbeda. Gerabah ini cenderung halus teksturnya dan tipis. Aneka gerabah tersebut dijual mulai dari Rp 5 ribu hingga Rp 25 ribu. Tergantung dari besar kecil dan kualitas masing-masing.
Seperti penjual lain, selain berjualan gerabah, Yusri juga berjualan uba rampe selamatan. Di antaranya empon-empon, bunga telon, bunga tabur, dan lainnya. Gerabah beserta uba rampe selamatan.
”Biasanya barang-barang tersebut laku saat sebelum puasa, lebaran, dan saat orang punya hajat. Sebelum puasa dan lebaran, banyak warga beli untuk nyekar di makam,”pungkas pria asli Kota Probolinggo itu.(hud).