JAKARTA-Kasus dugaan korupsi yang melibatkan Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, Jhonny Allen Marbun kembali diungkit. Bahkan, selembar kertas Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) yang membeberkan status tersangka Johnny Allen Marbun beredar di kalangan wartawan DPR Senayan. Jhonny Allen memang diduga terlibat penggelembungan anggaran harga makam untuk pembelian tanah di Tempat Pemakaman Umum Pondok Rangon, Jakarta Timur. Surat berkop Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya itu bernomor B/253/IV/2013/Ditreskrimum dengan tanggal 7 Mei 2013.
Berdasarkan catatan Koran Madura, beberapa tahun lalu, Tino Selastinus A Ola melaporkan dugaan mafia anggaran yang dilakukan oleh Monika Wilhelmina Wenas dan Jhony Allen Marbun. Keduanya dilaporkan Tino ke KPK dengan nomor registrasinya 2011-07-000279.
Pada bagian bawah surat dokumen tersebut juga menyebutkan mengenai rencana Polda untuk memeriksa Jhonny. “Rencana tindak lanjut proses pemanggilan terhadap Jhonny Allen Marbun anggota DPR RI guna didengar keterangannya sebagai tersangka,” tulis dokumen tersebut, Selasa (21/5).
Sayangnya, belum diketahui pasti kebenaran dari dokumen surat yang beredar ini, entah asli atau palsu. Adapun materi surat dokumen ini berisi perihal Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP), terkait dugaan kasus penggelapan yang dilakukan Jhonny. Surat ditujukan kepada pelapor Selestinus A Ola.
Dalam surat tersebut juga dicantumkan bahwa Polda telah memeriksa sejumlah saksi dalam kasus tersebut. Mereka adalah Salestinus A Ola, Andar M Situmorang, Pardamean Hutapea, Mastuti, Herni Dwiyanti, Retno Santi Prasetyati, dan Siti Narwiyah. Surat tersebut diteken oleh Kasubdit Kamneg Polda Metro Jaya AKBP Daniel Polly H Tifaona itu.
Polisi juga sudah melakukan penyitaan barang bukti berupa fotokopi sertifikat tanah seluas 472 meter persegi atas nama Selestinus A Ola, fotokopi legalisasi sertifikat tanah seluas 500 meter persegi atas nama Drs HM Iwan, dan fotokopi AJB nomor 09 dilegalisasi atas nama Harni Dwiyanti.
Selain itu, fotokopi legalisasi sertifikat tanah seluas 1048 atas nama Iransyah, fotokopi serah terima notaris Retno Santi Prasetyati kepada notaris Mastuti Betta, fotokopi berita acara serah terima sertifikat dari Mastuti kepada Jhonny Allen Marbun. Bagian bawah surat tersebut juga mencantumkan tulisan mengenai rencana Polda untuk memeriksa Jhonny.
Status Saksi
Namun Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Polisi Rikwanto menyatakan status Jhonny Allen Marbun masih sebagai saksi dari kasus penggelapan sertifikat tanah. “Dia masih saksi, belum dilakukan pemeriksaan pada yang bersangkutan. Belum tersangka, masih saksi,” kata Rikwanto di Polda Metro Jaya.
Rikwanto yang beredar itu diduga adalah SP2HP, yang dikeluarkan Direktorat Kriminal Umum polda metro jaya dengan nomor B/253/V/2013/Ditreskrum. Itu adalah surat yang diperuntukkan pada pelapor kasus. Bukan surat peningkatan status Jhonny Allen. “SP2HP itu untuk pelapor. Untuk menginformasikan perkembangan kasus yang ditangani, bukan surat pemanggilan orang,” jelas Rikwanto.
Akan ada 8 saksi yang diperiksa, termasuk Jhonny Allen. “Ada 8 saksi diperiksa, akan diperiksa saksi selanjutnya termasuk Jhonny Allen minggu ini,” tukas Rikwanto
Ditempat terpisah, Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Jhonny Allen Marbun saat dikonfirmasi membantah terlibat dalam kasus dugaan penggelapan tanah yang kini tengah diusut Polda Metro Jaya. “Nggak ada (surat). Apa dasarnya? Tersangka apa? Tanahnya saya yang beli kok. Coba dikejar itu Polda,” ungkapnya
Jhonny menjelaskan, pada tahun 2007 dirinya membeli sebidang tanah. Lalu mengurus proses administrasi terkait surat sertifikat kepemilikan tanah. Pada saat sedang diurus ke notaris, Jhonny mengaku tidak bisa hadir karena kesibukannya sebagai politisi. Akhirnya, anggota Komisi VII DPR ini pun memutuskan menggunakan nama ajudannya, Selestinus A Ola. “Nah, pada tahun 2012 ini baru diperkarakan, dia bikin itu tanah dia, termasuk sudah dibikin atas nama istrinya. Sekarang tanya saja ke dia, yang beli tanah itu siapa?” tukas Jhonny.
Dia menjelaskan, Selestinus merupakan ajudannya dari tahun 2005-2009. Ia menduga Selestinus berani melaporkannya karena dia pernah menolak memberi uang kepada mantan ajudannya itu. “Itu kan pemerasan, datang ke rumah minta duit miliaran, enggak saya kasih. Dia lalu mengaku itu tanah dia, tanah dia dari mana?” pungkasnya. (gam/cea)