JAKARTA – Kementerian Keuangan mengungkapkan, struktur industri nasional masih sangat lemah untuk memproduksi bahan baku dan barang modal. Hal ini pada akhirnya menciptakan defisit transaksi berjalan yang mengganggu penguatan pertumbuhan ekonomi. “Jangan sampai setiap investasi naik, maka harus impor. Sehingga, perlu ada langkah yang dibuat untuk membuat industri kita juga tidak tergantung pada barang modal dan bahan baku impor,” jelas Menteri Keuangan, Chatib Basri di Gedung DPR Jakarta, Kamis (23/5).
Dia mengatakan, pemerintah memang perlu memberikan insentif fiskal dalam upayanya mengembangkan sektor perindustrian agar dapat memproduksi bahan baku dan barang modal. “Ini supaya bisa menunjang pertumbuhan ekonomi yang strong tanpa mengganggu current account deficit,” kata Menkeu.
Pada 2012, ungkap Chatib, impor bahan baku dan barang modal mencapai 98 persen dari total impor, sedangkan impor barang konsumsi hanya 8 persen. Menurut dia, kondisi semacam ini secara jelas mengganggu penguatan pertumbuhan ekonomi, karena transaksi berjalan mengalami pelebaran defisit. “Jadi sekarang ini, kalau investasi itu naik, maka impor barang modal dan bahan bakunya naik. Kenapa kemarin nilai impor kita naik tajam? Salah satu penjelasannya adalah, karena investasinya naik tajam,” ujar dia.
Menyinggung kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi, Chatib meyakini bahwa konsumsi pemerintah di 2014 bisa menyumbang sedikitnya 0,3 persen. Hal ini sekaligus memastikan, pertumbuhan ekonomi 2014 akan berada di kisaran 6,4-6,9 persen yang juga ditopang konsumsi rumah tangga, investasi dan ekspor. “Saat ini share pengeluaran pemerintah itu 6 persen dari gross domestic product (GDP). Kalau pengeluaran pemerintah bisa tumbuh 5 persen saja, maka akan ada tambahan 0,3 persen. Sekarang ini growth-nya pemerintah di Kuartal I 2013 hanya 0,03 persen,” jelas dia.
Dengan demikian, kata Chatib, pemerintah cukup optimistis bahwa pertumbuhan ekonomi 2014 berada di kisaran 6,4-6,9 persen. “Tetapi, ini juga tergantung dari situasi globalnya. Karena, situasi ini harus kami antisipasi dalam waktu ke depan,” ucap dia.
Keyakinan tersebut, lanjut dia, terkait pula dengan perkiraan pemerintah bahwa tingkat konsumsi rumah tangga, investasi dan ekspor akan mengalami peningkatan positif di 2014. “Kalau sektor manufaktur dikombinasikan dengan sumber daya alam, maka target dari growth-nya (6,4-6,9 persen) akan mengalami penegasan,” ujar dia.
Menurut Chatib, lebih rendahnya target pertumbuhan ekonomi 2014 dibandingkan asumsi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2009-2014, karena perbaikan ekonomi global di luar perkiraan pemerintah. Seperti diketahui, pada RPJMN 2009-2014, pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan berada di kisaran 7-7,7 persen. “Ketika RPJMN dibuat, saya kira antisipasi terhadap situasi global juga belum sedalam ini. Karena kita tahu bahwa recovery di US itu terjadi lebih lambat dari perkiraan kami. Situasi penyelesaian di Eropa itu bukan hanya soal demografis ekonomi, tetapi soal juga keputusan politik yang lebih lambat dari yang kamin perkirakan. Tentu, sedikit banyak mempengaruhi Indonesia,” paparnya.
Target Meleset
Sementara itu, anggota DPR Ecky Awal Mucharam menilai pertumbuhan ekonomi tahun 2014 dalam rentang 6,4-6,9 persen yang ditetapkan pemerintah jauh lebih rendah dibanding target dalam RPJMN 2009-2014 sebesar 7-7,7 persen. Kegagalan pemerintah mencapai target RPJMN Tahun 2014 secara umum disebabkan karena pemerintah belum mampu memanfaatkan besarnya potensi ekonomi domestik untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. “Peran konsumsi modal pemerintah yang terus menurun telah menghambat pencapaian pertumbuhan yang lebih baik”, paparnya saat menyampaikan pandangan Fraksi PKS atas Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Tahun Anggaran 2014 dalam Paripurna DPR RI di Jakarta, Kamis (23/5).
Untuk menjaga Investasi atau PMTDB, kata dia, pemerintah perlu memperbaiki daya saing ekonomi Indonesia yang terus merosot. Laporan The Global Competitiveness Report 2012-2013 yang disusun oleh World Economic Forum menyatakan bahwa Indonesia mengalami penurunan indeks daya saing global dari peringkat ke 44 tahun 2011, menjadi peringkat 46 tahun 2012 dan menurun lagi menjadi peringkat ke 50 pada 2013. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Bank Dunia, di mana peringkat kemudahan bisnis di Indonesia terus mengalami penurunan. Peringkat doing business tahun 2013 kembali menurun ke posisi 129 dari posisi tahun 2012 pada peringkat 128, dan 2011 pada peringkat 126. “Kondisi penurunan daya saing ini harus diatasi secara sungguh-sungguh”, tambah dia.(gam/bud)