Judul Buku: Dahsyatnya Sabar, Syukur & Ikhlas | Penulis: Abdul Syukur | Penerbit: DIVA Press, Yogyakarta | Cetakan: I, Februari 2013 | Tebal: 188 halaman | ISBN: 978-602-7724-44-0 | Persensi: Hendra Sugiantoro
Diakui atau tidak, kita masih perlu belajar tentang syukur dan sabar dalam menjalani kehidupan. Seiring kenyataan kadar iman yang bisa naik dan bisa turun, syukur dan sabar dalam diri kita dimungkinkan fluktuatif. Suatu saat kita menjadi manusia yang penuh syukur dan memiliki kesabaran, namun di saat yang lain menjadi manusia yang jauh dari rasa syukur dan sabar.
Buku ini membawa kita pada dimensi perenungan untuk mengaca diri. Seberapa besar rasa syukur dan kesabaran yang kita miliki? Rasulullah Muhammad Saw. telah terang benderang menjelaskan bahwa setiap perkara manusia mengandung kebaikan dengan dua syarat.
Pertama, apabila kita mendapatkan kelapangan atau kesukaan atau hal sejenisnya, kita mampu bersyukur. Kedua, kita bersabar apabila ditimpa kemudharatan atau kesusahan atau hal sejenisnya. Pada dasarnya, syukur dan sabar adalah kekuatan utama kita untuk hidup di dunia ini. Bukankah tak ada di antara kita yang selamanya suka dan bahagia? Bukankah dalam usia hidup kita kerapkali juga menghadapi kondisi duka dan nestapa? (hlm. 12-14).
Sebagaimana ayat Al-Qur’an yang kerapkali kita dengar, “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (Qs. Ibrahim (14): 7). Bersyukur tentu tak hanya mengucapkan alhamdulillah, tetapi harus meresap dalam hati dan terejewantahkan dalam sikap dan perilaku sehari-hari. Disadari atau tidak, kita belum sepenuhnya melakukan itu. Begitu pula dengan sabar yang termasuk bagian dari iman. Sebagian ulama membagi sabar menjadi tiga, yakni sabar dalam berbuat taat, sabar dalam menahan diri dari maksiat, dan sabar tatkala menghadapi takdir Allah Swt. yang menyakitkan. Manusia yang tak memiliki kesabaran dalam menjalankan ketaatan, tak memiliki kesabaran dalam menjauhi maksiat, dan tak memiliki kesabaran ketika tertimpa takdir yang menyakitkan, ujar Iman Ahmad bin Hanbal, maka manusia itu kehilangan banyak sekali bagian keimanan (hlm. 18-21).
Kalau kita menyadari, Allah Swt. tak tanggung-tanggung dalam melimpahkan nikmat kepada kita. Cobalah sejenak kita mengatakan kalimat berikut ini sepenuh penghayatan, “Alhamdulillah, Allahu Akbar! Aku telah menghirup udara untuk kesekian triliun kalinya semenjak aku lahir! Jantungku telah berdetak untuk kesekian triliun kalinya semenjak berdetak pertama kali!” Bayangkan, apa jadinya kita apabila tanpa udara dan jantung kita tak berdetak? Itu pun hanya sebagian dari ketakhinggaan nikmat yang diberikan Allah Swt. kepada kita.
Maka, kesadaran diri kita untuk belajar mensyukuri nikmat Allah Swt perlu dinyalakan terus-menerus. Lebih-lebih syukur dengan hati yang diistilahkan Ibnul Qayyim al-Jauziyah dengan “al-i’tirafu biha bathinan”. Bersyukur menuntut kita untuk mengakui dalam hati bahwa nikmat itu semata-mata pemberian Allah. Begitu pula kita harus tertantang untuk mampu bersyukur dengan sikap dan perbuatan. Mensyukuri nikmat menghendaki kita untuk memanfaatkannya dalam kebaikan. Kita menggunakan seluruh anugerah-Nya secara baik dan benar. Apakah kita telah menggunakan potensi, bakat, ilmu pengetahuan, kesehatan, harta, pangkat dan gelar, kedudukan, dan sebagainya demi keridhaan, kecintaan, dan perjumpaan dengan-Nya? (hlm. 24-41).
Belajar menguatkan kesabaran juga tak mungkin kita alpakan. Sebagai sunnatullah, hidup kita tak selamanya berjalan mulus. Adakalanya bergelombang, dipenuhi onak dan duri, kadangpula terjal. Kesulitan hidup tak mungkin dielakkan sebagai bagian dari penempaan diri kita menjadi lebih matang dan lebih baik. Kesabaran dalam menerima takdir dan cobaan Allah Swt adalah kunci. Sejatinya ada hikmah yang bisa kita petik dari setiap kondisi apapun yang kita hadapi. Kondisi tubuh tidak sehat, kemiskinan, dan bencana diperlukan kesabaran dalam diri kita. Urusan kesabaran juga diperlukan dalam menjalankan ketaatan kepada Allah Swt. Meskipun kita melakukan kebaikan, ada ujian terkait konsistensi (istiqamah) kita. Ketika kita mengazzamkan diri berdakwah, kita pun dituntut menguatkan kesabaran karena jalan dakwah dipenuhi tantangan dan kesukaran (hlm. 41-76).
Dengan bahasa sederhana dan mengalir lancar, buku yang membahas perihal syukur dan sabar ini lebih mudah dipahami oleh kita yang awam sekali pun. Tak ada mawar tanpa duri, setiap buku ada kelebihan dan kekurangan, namun tak mengurangi substansi untuk menjadikan kita pandai bersyukur dan bersabar. Imam Ahmad bin Hanbal pernah mengatakan bahwa di dalam surga hanya ada dua kelompok manusia, yakni manusia yang bersyukur dan manusia yang bersabar. Namun demikian, syukur dan sabar tidaklah cukup. Kita juga perlu memurnikan keikhlasan kepada Allah Swt. Maka, buku ini tak lupa mengutarakan hal tersebut. Ikhlas, syukur, dan sabar adalah kunci kekuatan hidup kita sebagai manusia di muka bumi. Kita perlu terus-menerus belajar agar tak kehilangan kunci tersebut agar kuasa membuka pintu jannah-Nya.
HENDRA SUGIANTORO, Pegiat Pena Profetik