JAKARTA- Isu kenaikan BBM dan segala argumentasinya yang berujung sisahkannya Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) Perubahan 2013 mendapat tanggapan negatif dari berbagai kalangan. “Masyarakat melihat dalam gonjang-ganjing paripurna DPR RI untuk memutuskan RAPBN-P itu ternyata ada dusta. Ini menimbulkan ketidakpercayaan pada pemerintah dan parpol,” kata pengamat politik LIPI, Siti Zuhro dalam Dialog Kenegaraan “Kesiapan Daerah Terkait Kenaikkan BBM”. Acara yang digelar Rabu 919/6) di Jakarta ini dihadiri pula oleh Direktur eksekutif Econit, Hendri Saparini dan anggota DPD Intsiawati Ayus di Jakarta, Rabu, (19/6).
Menurut Siti Zuhro, proses politik yang terjadi di DPR beberapa waktu lalu mempertontonkan situasi yang tidak menarik. Bahkan, prosesnya justru ke hal yang negatif.
Kondisi seperti ini kata dia sangat tidak kondusif untuk demokrasi. “Isu-isu untuk kepentingan nasional diabaikan. Yang terlihat, kepentingan kelompok lebih dominan dalam setiap pengambilan keputusan,” kata dia.
Dia yakin, rakyat akan menghukum parpol maupun pemerintah yang tidak pro rakyat. “Rakyat sekarang sudah cerdas memilih parpol. Mana yang pro rakyat dan mana yang pengkianat rakyat. Jadi, jangan coba-coba menipu rakyat,” kata dia.
Sementara itu, pakar ekonomi, Hendri Saparini mengatakan kenaikan harga bahan BBM bersubsidi disinyalir sekedar alat mencapai target-target politik di 2014. Sebab tanpa kenaikan BBM, target politik partai tak akan tercapai. “Itu langkah-langkah sulit yang tak pernah disentuh pemerintah, sehingga mengambil jalan pintas dengan menaikkan BBM,” ujar dia.
Dalam penyusunan APBN Perubahan tersebut masih ada utang luar negeri sebesar Rp 80 triliun, sehingga kenaikan harga BBM dan semua barang kebutuhan pokok yang menyusulnya hanya memberatkan ekonomi sehari-hari rakyat.
Perombakan APBN itu diklaim pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dari 6,3 persen menjadi 6,8 persen, dan investasi dari 6,7 persen menjadi 6,9 persen. Dan, kalau BBM tak dinaikkan maka APBN akan jebol, defisit mencapai Rp 300 triliun, subsidi tak terkendali dan salah sasaran, dan banyak lainnya.
Di sisi lain, pemerintah selama ini tak pernah mengevaluasi volume konsumsi dan sumber minyak itu sendiri. Kondisi itu diperparah dengan kebocoran-kebocoran BBM pada kilang minyak, distribusi minyak, juga kebocoran pada kilang-kilang yang masuk ke industri, selain kendaraan pribadi.”Jadi, kenaikan BBM hanya demi mencapai target-target politik 2014,” imbuh dia.
Selain itu, lanjut Hendri, munculnya penolakan kepala-kepala daerah juga tak dipertimbangkan pemerintah. Padahal, di daerah-daerah terdapat kesenjangan yang luar biasa terkait pertumbuhan ekonomi, inflasi, pengangguran, kemiskinan, penurunan daya beli dan sebagainya.
Dan bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) yang diberikan kepada rakyat sebesar Rp 150 ribu itu tak berarti apa-apa bagi rakyat di daerah yang jauh dari Pulau Jawa, seperti masyarakat di Pulau Papua. “BLSM itu tidak membantu masyarakat, hanya sebagai langkah pengamanan sementara. Jadi, kalau BLSM itu selama empat bulan, selanjutnya bagaimana masyarakat bisa melindungi dirinya dengan harga-harga sembako yang akan terus melonjak naik? Mengingat kenaikan harga sembako itu tak akan pernah turun, bagaimana?” tanya Hendri.
Kecewa
Sementara itu, anggota DPD RI Intsiawati Ayus mengaku kecewaan terhadap DPR RI atas pengesahan RUU APBN-P 2013 dalam paripurna DPR RI. Karena tidak melibatkan DPD RI, sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 27 April silam itu. “Jangankan konsultasi, komunikasi dengan DPD pun tidak ada. Dengan begitu, maka DPR RI melecehkan putusan MK terkait kewenangan regulasi,” terangnya.
Padahal, kata Ayus, keputusan kenaikan BBM itu berdampak ke masyarakat daerah. Apalagi kepala daerah tak paham APBN juga APBN-P, di mana dalam melaksanakan APBN-P terkait daerah itu, selalu menunggu komando dari pusat. Jadi, paripurna DPR Ri itu sandiwara saja, sementara kartu BLSM (bantuan langsung sementara masyarakat) sudah dibagikan sejak 7 Juni,” pungkasnya. (gam/abd/cea)