JAKARTA-Perbankan syariah harus mampu meningkatkan kapasitas agar dapat memberikan pembiayaan terhadap berbagai proyek infrastruktur di Indonesia. Pembiayaan infrastruktur, sangat vital bagi bangsa Indonesia saat ini. “Sebab jika perbankan syariah tidak mampu membiayai infrastruktur, maka Indonesia secara keseluruhan juga akan ketinggalan,” ujar Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Muliaman D Hadad saat menjadi pembicara kunci pada seminar bertema Program Penjaminan LPS dan Prospek Pertumbuhan Perbankan Syariah di The-Ritz Carlton Pacific Place Jakarta, Kamis (27/6).
Menurut dia, propek pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia sangat bagus. Hal ini ditopang oleh jumlah penduduk muslim terbesar di dunia sehingga menjadi pangsa pasar perbankan syariah yang menggiurkan. Meski demikian, masih ada sejumlah kendala yang dihadapi perbankan syariah untuk tumbuh. Persoalan ini kata dia menjadi tantangan tersendiri bagi regulator dan pelaku usaha untuk melewati sejumlah tantangan di industri perbankan syariah.
Kendati berprospek bagus, Muliaman mengibaratkan bank-bank syariah nasional tidak lebih dari sekadar seperangkat smartphone berteknologi canggih yang hanya dipergunakan untuk berkomunikasi secara tradisional. “Sekarang ini, perbankan syariah di Indonesia masih seperti handphone canggih, tetapi cuma dipakai untuk SMS (pesan singkat) atau menelpon saja. Jadi, masih perlu untuk mengembangkan produk-produk syariah yang lebih luas lagi dan sekaligus mendukung pendalaman finansial market,” kata dia.
Saat ini jelas dia ada tiga tantangan yang perlu untuk segera disikapi perbankan syariah. Pertama, industri perbankan syariah harus mempunyai strategi bisnis dan pendekatan yang jelas untuk membantu pemerintah maupun regulator industri keuangan yang tengah mengupayakan memperluas akses finansial melalui branchless banking. “Jangkauan perbankan syariah harus diperluas hingga ke pelosok-pelosok Indonesia,” jelas dia.
Tantangan kedua, lanjut Muliaman, industri perbankan harus mampu merespons tuntutan kebutuhan kelas menengah yang sedang meningkat pesat, bahkan jumlah kelas menengah diperkirakan akan mencapai 120 juta jiwa pada 20 tahun ke depan. Kelompok ini juga diperkirakan akan memiliki pendapatan hingga melampaui angka 10.000 dollar Amerika Serikat (AS) per tahun.
Ketiga, perbankan syariah harus secara jelas memiliki konsep pembangunan ekonomi, sehingga bisa direalisir sebagai sebuah tindakan dalam bentuk pembiayaan proyek infrastruktur berskala besar. “Kalau perbankan syariah tidak bisa merespons tantangan-tantangan itu, tentunya industri ini tetap akan tertinggal juga dari yang konvensional,” terang Muliaman.
“Bukan hanya perbankan syariah, ada juga asuransi maupun pasar modal syariah. Lebih bagusnya lagu, perlu dibangun secara sinergis antara konvensional dan syariah, sehingga penciptaan kondisi semacam itu bisa menguatkan industri keuangan Indonesia,” pungkas dia.
Potensi Besar
Asosiasi Perbankan Syariah Indonesia (Asbisindo) menyatakan potensi pengembangan pasar perbankan syariah di Indonesia masih terbuka lebar. Hal ini menurut Ketua Asbisindo, Yuslam Fauzi, tidak terlepas dari kondisi Indonesia yang merupakan negara dengan pertumbuhan kelas menengah paling cepat.
Pada 2030 mendatang, ungkap Yuslam, kelas menengah di Indonesia diprediksi berjumlah 135 juta orang. Saat ini, menurutnya, sudah ada 119 juta orang kelas menengah Muslim yang sudah bankable. “Tapi hanya 2,2 persen yang menggunakan perbankan syariah. Jadi sebenarnya potensi sektor ini sangat luar biasa,” kata Yuslam di Jakarta, Kamis (27/6).
Dengan aset sebesar Rp 200 triliun, perbankan syariah menjadi soko guru dan lokomotif dari keuangan syariah. “Prospek keuangan syariah akan terus tumbuh asal dikelola dengan baik (good governance) dan memberikan pelayanan yang baik pula,” ucap Direktur Utama Bank Syariah Mandiri (BSM) ini. (gam/bud)