PACITAN – Kabupaten Pacitan, Jawa Timur gagal mempertahankan predikat/opini “wajar tanpa perkecualian” (WTP) dari BPK-RI sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, karena ditemukan sejumlah pos penganggaran yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.
“Memang dinyatakan oleh BPK ada beberapa pos anggaran yang tidak sesuai dengan peruntukan dan ketentuan yang berlaku,” kata Sekretaris Daerah (Sekda) Pacitan, Mulyono, Senin.
Dia jelaskan ada tiga hal yang membuat Kabupaten Pacitan gagal mendapatkan status prestisius di bidang pengelolaan keuangan daerah, yakni realisasi belanja bantuan keuangan, bantuan sosial, dan penghitungan aset tetap di Dinas Pendidikan (Disdik).
Sesuai Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI nomor 66.C/LHP/XVIII.JATIM/05/2013, disebutkan bahwa nilai realisasi belanja bantuan keuangan yang tidak sesuai peruntukannya mencapai angka Rp 24,6 miliar.
Belanja yang tidak sesuai untuk peruntukannya itu di antaranya bantuan kepada pemerintahan desa, bantuan partai politik, pembangunan jalan, juga kegiatan pertanian dan peternakan.
Menurut Mulyono, salah satu contoh anggaran yang tidak sesuai dengan ketentuan adalah realisasi penyaluran bantuan untuk kelompok masyarakat.
Sesuai aturan seharusnya, Dinas Pendapatan Pengelola Keuangan dan Asset (DPPKA) menyalurkannya melaui rekening desa, tetapi pada kenyataannya dana diberikan langsung ke rekening kelompok.
Demikian pula dengan penganggaran bantuan sosial senilai Rp 13,5 miliar, penyebabnya tim anggaran belum mematuhi Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) nomor 32/2011 tentang pedoman pemberian hibah dan dana sosial bersumber dari APBD.
Sejumlah instansi yang menjadi leading sektor dalam kegiatan-kegiatan yang masuk catatan BPK, di antaranya Bagian Pemerintahan Sekretaris Daerah, Bappemas, Pemerintahan Desa, Dinas Bina Marga dan Pengairan, Dinas Cipta Karya Tata Ruang dan Kebersihan, dan DPPKA sebagai bagian teknis pencairan dana.
Sedangkan untuk Dinas Pendidikan, BPK perwakilan Jatim menemukan aset senilai Rp 508,77 miliar yang belum disusutkan pada neraca. Penyusutan belum dilakukan karena hingga akhir tahun lalu proses pendataan belum selesai.
Mulyono menjelaskan melayangnya opini WTP menjadi WDP (Wajar Dengan Pengecualian) menjadi cerminan untuk memperbaiki diri dan kinerja bidang administrasi keuangan.
Caranya dengan tetap mematuhi undang-undang yang berlaku. Tidak itu saja. Kordinasi dengan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) juga dilakukan guna memperbaiki sekaligus menindaklanjuti temuan BPK. “Kami juga perlu membentuk tim evaluasi terhadap pengajuan bantuan, sehingga kinerja ke depan lebih baik lagi,” tandasnya. (ant/rah)