JAKARTA-Perdebatan pasal 9 UU Nomor 42/2008 terkait ambang batas pencalonan presiden oleh partai politik ternyata belum juga tuntas. Karena itu, untuk mengatasi kebuntuan maka yang paling realistis tetap menggunakan UU Pilpres lama, dimana syarat mengusung capres 20 % suara sah nasional. “Untuk saat ini sebaiknya tetap di 20 %. Ya untuk presidential, memang thershold harus besar,” kata Pakar Hukum Tata Negara (HTN) Jimly Assidiqie di Jakarta,Selasa,(9/7).
Pasal 9 UU Nomor 42 Tahun 2008 mengatur tata cara penentuan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Bunyi pasal selengkapnya adalah pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah nasional dalam Pemilu Anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Pasal 9 ini sangat berhubungan erat dengan Pasal 1 sampai dengan Pasal 8 UU Nomor 42 Tahun 2008. Sebab, substansi Pasal 1 sampai dengan Pasal 7 mengatur persyaratan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Sedangkan ketetuan Pasal 8 merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pengaturan tata cara penentuan pasangan calon dimaksud. Selama dalam proses pembahasan di DPR, pasal-pasal tersebut menjadi perdebatan berkepanjangan karena adanya tarik menarik kepentingan politik antar fraksi.
Diakui Jimly, saat ini UU Pilpres sedang diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk dilakukan uji materi atas pasal 9 yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 6A. “MK harus segera memutuskan judicial review, maksimal bulan ini. Jangan ditunda-tunda agar persiapannya baik jelang 2014,” ungkapnya
Jimly berharap pemerintah terpilih nanti bisa membenahi sistem pemerintahan yang kuat menjamin sistem presidensial. Setidaknya pemerintahan yang baru perlu memikirkan bagaimana parlemen tidak menumpuk beragam partai.
“Setelah terbentuk pemerintahan yang baru, mari kita benahi. Saya sudah usulkan dari lama, partai-partai masuk dalam posisi pemerintah atau non pemerintah. Jika terlalu banyak seperti ini, terlalu transaksional karena perlu mengakomodasi kepentingan partai,” terangnya
UU Lama
Ditempat terpisah, Ketua Fraksi Partai Demokrat, Nurhayati Ali Assegaf, tetap menginginkan penggunaan UU lama. “Demokrat tidak pikirkan parpol saja, tapi kepentingan masyarakat. Masih banyak UU belum selesai. UU pilpres belum perlu direvisi karena masih relevan,” paparnya
Jika angka presidential treshold diturunkan, Nurhayati mengkhawatirkan banyaknya calon presiden. “Kalau terlalu banyak banyak capres masyarakat bingung,” ujarnya.
Untuk itu, kata Nurhayati, Demokrat membuka konvensi untuk menentukan calon presiden. “Insya Allah dengan kerja keras kekompakan, optimistis bisa. Kalau 15 % harus koalisi kita akan lakukan. Ini untuk bangsa dan negara,” imbuhnya.
Sementara Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani mengaku tetap yakin pembahasan revisi UU Pilpres bisa dilakukan. Alasannya hingga saat ini badan legislatif (Baleg) sudah sedemikian jauh membahas perubahan UU No.42/2008 itu. “Ibaratnya kalau dari 10 poin yang dibahas, sebanyak 9 poin sudah disepakati,” tuturnya
Muzani mengakui, satu poin krusial yang masih menjadi perdebatan yaitu perubahan pasal 9 tentang syarat mengajukan presiden dan wakil presiden dalam pemilu. Fraksinya masih meyakini cukp partai yang lolos ke parlemen lah yang bisa mengajukan calon presiden dan wakil presiden. “Kalau memang belum setuju ya dibawa saja ke paripurna,” ujarnya.
Anggota Baleg DPR, Indra menegaskan PKS kini dalam posisi mendorong adanya revisi seperti di samping partai lain yang mendukung revisi undang-undang itu yakni Partai Gerindra, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Hanura. “Revisi UU Pilpres dibutuhkan untuk mengatur pelarangan presiden rangkap jabatan, pembatasan biaya kampanye, pengaturan/pembatasan iklan supaya tidak ada koptasi pencitraan semu melalui iklan yang akan menyesatkan pemilih, dan perubahan syarat pencapresan,” pungkasnya. (gam/cea)