PROBOLINGGO – Pengusaha tahu-tempe bakalan gulung tikar dan menghentikan produksi karena dipengaruhi melonjaknya harga kedelai sebagai bahan baku. Para pengusaha tahu-tempe yang berada di wilayah Kota Probolinggo ini selain mengeluhkan dan menjerit atas kenaikan harga bahan baku juga di repotkan dengan langkanya bahan baku dipasaran.
“Saat ini harga bahan baku sedikit demi sedikit terus merangkak naik, dimana perkuintalnya sudah menembus angka Rp 850 ribu yang sebelumnya hanya mencapai harga tertinggi Rp 650 ribu saja,”ujar Dwi Narsono, salah satu pemilik Pabrik Tahu Sumber Rejeki, di Jalan Merpati Kelurahan Jati Kecamatan Mayangan Kota Probolinggo, Senin (26/8).
Dwi Narsono mengungkapkan sekarang harga kedelai sudah menembus angka Rp 850 ribu. Bahkan, bahan baku yang ada saat ini, bukan kedelai lokal melainkan kedelai import. “Produksi tahu kami turun hingga 20 persen. Biasanya perhari memproduksi 100 tong dengan bahan baku kedelai 14 kg pertong, dan saat ini produskinya menurun menjadi 70 tong. Isi pertong sebanyak 800 potong tahu dengan harga Rp.250 perpotong,”tandasnya.
Ia meminta agar pemerintah turun tangan dan peduli dengan jeritan yang saat ini sedang mereka hadapi. Bahkan meroketnya harga bahan baku tahu-tempe sejak beberapa belakangan tersebut telah membuat beberapa pengusaha tahu terancam gulung tikar. Hal ini dikarenakan tidak bisa bertahan dengan kenaikan harga bahan baku kedelai yang terus melonjak naik hampir setiap harinya.
“Secepatnya, pemerintah agar turun tangan melihat kondisi dari para pengusaha ini. Kami masih menunggu apa gerakan dari pemerintah melihat situasi seperti ini,” harap Dwi Narsono..
Kurangi Volume dan Produksi
Sementara itu, untuk menyiasati agar para pengusaha tempe tetap produksi dengan terpaksa mengurangi volume dan jumlah produksi. Yanga mana ketika harga kedelai normal bisa memproduksi 120 kg per pengusaha namun kini turun hingga 30 kg. Ditambah volumenya juga dikurangi.
Salah seorang pengusaha tahu tempe, Sholihin (38) warga Jl.KH.Hasan Gengong, Gg. III, Kelurahan Sumbertaman Kecamatan Wonoasih Kota Probolinggo menyebutkan kenaikan harga bahan baku kedelai bisa setiap harinya. “Harga bisa naik perhari. Karena itu dengan kenaikan harga ini bisa mengakibatkan gulung tikar,”ucap pria yang sehari-hari berjualan tempe keliling kampung ini.
Ia juga berharap perhatian dari pemerintah untuk segera turun tangan. Hingga saat ini, perajin tempe masih bersabar menunggu respon dari pemerintah. “Kita minta pemerintah turun tangan, jangan sampai kita gulung tikar. Jika tidak ada respon ya mereka terpaksa cari jalan lain agar pemerintah mau dengar,” tegas Sholihin.
Kenaikan harga kedelai, juga dirasakan oleh Taufik (35), salah seorang pengrajin tempe di Kelurahan Sukoharjo Kecamatan Kanigaran Kota Probolinggo menuturkan, sudah seminggu terakhir ini produksinya menurun. “Biasanya kami membuat sampai 100 kg tempe perhari. Namun setelah harga naik, produksi kami hanya sampai 25 kilogram per hari,” ujarnya.
Terlebih lagi, harga kedelai di pasaran saat ini, kata Lukman sudah mencapai Rp 8.500 perkilonya. Seminggu terakhir, harga memang terus melambung. Semula harga kedelai hanya Rp 6.500 lalu beranjak naik menjadi Rp 8.500 dan kini mencapai Rp 9.000 perkilogramnya.
Untuk mensiasati agar produksi tetap jalan, ia terpaksa menaikkan harga namun kualitas tetap sama. Per satu kali cetak, biasanya menjual Rp 20 ribu, kini dijual Rp. 22 ribu sampai Rp 25 ribu.
“Tidak menutup kemungkinan kami juga bisa berhenti. Rencananya akan menyampaikan hal ini ke Pemkot Probolinggo secara langsung,”terang Lukman.
Kondisi itu juga dirasakan, Taufik (35) salah seorang penjual tempe di Pasar Randupangger Kota Probolinggo juga mengakui hal yang sama. Penjulan tempenya saat ini sudah tak seperti lagi biasanya. Kini ia menjual tempe sesuai pesanan saja. Itupun kalau pemesan sepakat dengan harga yang sudah dinaikkan.
“Sekarang kalau saya beli tempe kepada pengrajin harganya Rp.18 ribu perkotak. Saya menjualnya Rp.22 ribu sampai Rp.25 ribu perkotak, dan hasilnya menipis,”beber Taufik.
Selain menaikkan harga, lanjut Taufik, potongan standar per balok tempe juga dikecilkan. Hal itu dilakukan untuk mengimbangi ongkos pemesanan yang mahal.
Ia mengaku terpukul dengan keadaan ini. Pria yang sudah bertahun-tahun menjadi penjual tempe keliling itu, baru sekarang merasa terpukul seperti ini.
Akhir-akhir ini, Taufik sudah mengurangi jualannya. Namun itu pun tak bisa laku semua. Padahal sebelumnya, berapa pun yang ia bawa pasti ludes terjual. “Mau apa lagi, kami terpaksa manaikkan harga. Tapi yang susah kami juga sebab masyarakat tak banyak membeli kalau harganya dinaikkan,” keluhnya.
Baik Sholihin, dan Taufik sebagai pembuat dan penjual tempe lainnya berharap agar pemerintah bisa memperhatikan dan menormalkan kembali harga. Mereka hanya orang kecil yang tak memiliki sumber panghasilan lain. “Anak kami butuh sekolah dan makan. Kalau kami sudah tidak berproduksi dan menjual lagi, dari mana kami dapat penghasilan,” pungkasnya.(hud).