PAMEKASAN – Kejuaraan karapan sapi piala presiden RI se-Madura yang rencananya akan digelar pada Oktober mendatang dibekukan. Pembekuan kejuaraan yang diprakarsai oleh Badan Koordinasi Wilayah (Bakorwil) IV Pamekasan itu dilakukan menyusul adanya penolakan dari kebanyakan pengerap terhadap aturan baru dalam kejuaraan itu.
Penghapusan aturan kekerasan pada sapi karapan (rekeng) yang sudah berlangsung sejak puluhan tahun dan menggantinya dengan aturan baru, yakni karapan sapi tanpa kekerasan (pak-kopak), dianggap sebagai pemicu penolakan para pengerap. Akibat penolakan para pengerap itu, maka pelaksanaan budaya karapan sapi Piala Presiden ditunda.
Sekretaris Bakorwil IV Pamekasan Budiono mengatakan kejuaraan karapan sapi piala presiden ini dibekukan sampai batas waktu tidak ditentukan. Selanjutnya, pihaknya menyerahkan kepada masing-masing daerah di Madura, apakah akan menggelar karapan sapi dengan sistem rekeng atau tidak.
Namun, kalaupun karapan sapi tetap digelar dengan kekerasan, kejuaraan itu tidak boleh menggunakan label piala presiden. Sebab, kejuaraan yang memperebutkan piala presiden disetujui tanpa kekerasan. Kejuaraan yang memperebutkan piala presiden itu kini sudah dibekukan dan trophinya diamankan di Kantor Gubernur Jawa Timur.
“Kejuaraan ini sudah dibekukan, karena adanya pro dan kontra terhadap aturan main karapan sapi piala presiden. Saya tidak tahu batas waktu sampai kapan, mungkin sampai tidak ada lagi pro dan kontra. Yang jelas kalau masih ada karapan sapi dengan kekerasan itu bukan piala presiden. Karena yang disetujui presiden, karapan sapi tanpa kekerasan,” katanya.
Ia menegaskan pembekuan kejuaraan karapan sapi piala presiden ini dibekukan untuk menghindari adanya percekcokan. Kalau nantinya para pengerap sudah sepakat untuk menyelenggarakan karapan tanpa kekerasan, pembekuan ini bisa dicabut dan dapat dilangsungkan karapan sapi tanpa kekerasan.
Sementara itu, sejumlah pengerap di Kabupaten Pamekasan tetap menyelenggarakan karapan sapi dengan aturan lama. Mereka terus menyeleksi sapi karapan di masing-masing kecamatan dengan kekerasan. Seperti yang dilakukan para pengerap dari tiga kecamatan yaitu Kecamatan Kota Pamekasan, Kecamatan Tlanakan, dan Kecamatan Proppo, di Stadion R. Soenarto Hadiwodjojo, Pamekasan pada Minggu (22/9) lalu.
Sebanyak 60 peserta terlibat dalam seleksi saat itu, dengan rincian masing-masing kecamatan 20 pasang sapi. Mereka diseleksi untuk memperebutkan posisi tiga terbaik dan akan bersaing pada seleksi tingkat kabupaten, pada tanggal 6 Oktober mendatang. Sapi yang seleksi campuran, ada sapi besar dan ada sapi kecil.
Muhammad Sahri, panitia seleksi karapan sapi mengatakan sistem rekeng yang dilaksanakan di tiga kecamatan dan sepuluh kecamatan lainnya merupakan kesepakatan para pemilik sapi karapan (pangerap). Usulan pelaksanaan karapan sapi non kekerasan (pak-kopak) yang diajukan oleh Bakorwil IV Pamekasan sangat tidak memungkinkan dilaksanakan tahun ini.
“Jangan paksa kami untuk melaksanakan karapan sapi sesuai dengan keinginan pemerintah, sebab untuk merubahnya butuh waktu,” kata Sahri.
Dijelaskan oleh Sahri, walaupun Bakorwil Pamekasan bersikukuh menggelar karapan sistem pak-kopak, para pangerap tidak akan menghalanginya. Sebab 98 persen pangerap di Madura sudah sepakat untuk tetap menggunakan sistem rekeng. Karapan sapi sistem pak-kopak ada komunitasnya tersendiri dan tidak bisa dicampuraduk dengan sistem rekeng.
“Walapun belum ada titik temu antara pangerap dengan Bakorwil Pamekasan, karapan sapi sistem rekeng akan tetap digelar setelah seleksi di masing-masing Kabupaten di Madura,” katanya.
Sebelumnya, salah satu pemilik sapi karapan asal Kecamatan Pasean Zaiful Bahri mengatakan sudah berkoordinasi dengan para pemilik sapi di tiga kabupaten menyikapi penghapusan penggunaan rekeng dalam lomba karapan sapi piala presiden. Menurutnya, para pemilik sapi keberatan, jika harus merubah pakem yang berlangsung selama puluhan tahun. Mereka mengancam tidak ikut serta dalam lomba karapan sapi itu dan akan menggelar lomba tersendiri.
“Saya yakin pelaksanaan piala presiden nanti sepi peserta, kalau jadi menerapkan pak-kopak. Karena pola ini tidak diterima oleh para tokoh karapan sapi. Kalaupun ada peserta, mungkin hanya kelas ringan. Karena para pengerap dari Sampang, Sumenep, dan Pamekasan tidak sepakat dengan penghapusan penggunaan rekeng ini,” katanya.
Zaiful Bahri yang juga ketua DPC-PDIP Pamekasan ini meminta agar perubahan pola karapan sapi ini ditinjau ulang. Paling tidak, penyelenggara karapan sapi menunda penerapannya sampai para pemilik sapi karapan bisa menerima perubahan pola karapan itu.
Dia jelaskan para pemilik sapi karapan di Madura akan terus menolak perubahan pola karapan sapi piala presiden ini. Pola karapan sapi dengan pak-kopak yang diprakarsai oleh Badan Koordinasi Wilayah (Bakorwil) IV Pamekasan itu merusak budaya warisan yang sudah menjadi ikon Madura sampai ke manca negara.
Ia menegaskan selain akan berdampak pada sepinya peserta, karapan sapi dengan pak-kopak ini juga akan mengurangi minat penonton termasuk turis asing untuk menonton karapan sapi. Meski demikian, hal tersebut bukan alasan mendasar terhadap penolakan itu, tetapi semata-mata untuk mempertahankan Kebudayaan Madura. (uzi/rah)