JAKARTA- Badan Intelijen Nasional(BIN) mulai mengendus potensi ancaman menjelang penyelenggaraan pemilu 2014. Kurangnya kerjasama antara KPU, Panwaslu dan Bawaslu menjadi salah satu yang dapat menjadi ancaman dalam penyelenggaraan pemilu. “Kita harap KPU, Panwaslu dan Bawaslu dapat mengerjakan tanggung jawab dengan sebaik-baiknya. Karena potensinya kalau salah satu dari mereka melakukan hal-hal yangg kurang itu jadi perdebatan panjang,” ujar Kepala BIN, Marciano Norman di gedung DPR, Senayan Jakarta (Senin 24/2).
Marciano menjelaskan ada kelompok-kelompok tertentu yang tidak ingin pemilu berjalan dengan sukses. Untuk itu, dia meminta kerja sama media untuk memberitahu masyarakat bahwa nasib Indonesia sangat ditentukan dari Pemilu. “Kita semua bertanggungjawab agar negara jadi lebih baik. Jadi saya harap pemilik hak pilih salurkan suara dengan baik tanpa terintimidasi dan pilih sesuai keinginan,” tegasnya.
Dia mengatakan bencana alam kerawanan lain yang berpotensi mengganggu penyelenggaraan pemilu. Kendati demikian, ia menegaskan bahwa hal ini sudah diantisipasi oleh sejumlah pihak seperti pemda, kementerian, dan BNPB. “Mereka sudah siap karena titik rawan bencana sudah jelas petanya,” tandasnya.
Sementara itu, Kepolisian diingatkan untuk lebih sigap lagi dalam persiapan pengamanan Pemilu 2014. Terutama fokus pengamanan di wilayah-wilayah pemilu yang dianggap memiliki sejumlah tempat pemungutan suara (TPS) yang rawan. “Sejauh ini kami menilai sistem pengamanan TPS tidak banyak berubah dari pemilu sebelumnya. Jumlah TPS jauh lebih banyak dari jumlah polisi. Satu polisi jaga empat sampai lima TPS. Ini harus diwaspadai,” ujar Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW), Neta S Pane dalam diskusi ‘Pemilu 2104 Bersih?’ di Rumah Makan Horapa Menteng, Jakarta, Senin (24/2).
Mendekati Pemilu kali ini, Neta mengingatkan Polri harus memetakan TPS-TPS yang rawan berpotensi adanya tindak kecurangan dan konflik di seluruh Indonesia. Salah satunya di Kalimantan Timur. Menurutnya, ada sekitar 3000 TPS rawan di provinsi tersebut yang juga dipengaruhi konflik sosial. “Aparat intelijen harus dimaksimalkan saat ini sejauh mana potensi konflik tersebut. Babinkamtibmas juga diturunkan untuk melakukan pendekatan agar potensi konflik ini bisa diredam,” sambung Neta.
Dia mengimbau agar Polri sejak dini mulai melakukan pendekatan dengan tokoh agama dan tokoh masyarakat di daerah-daerah, terutama yang rawan konflik agar membimbing masyarakat menghadapi pemilu. “Pendekatan persuasif lebih efektif untuk menghindari konflik dibanding menunggu datangnya konflik,”ujar Neta
Sebagaimana diketahui, dari tahun 2013, sebanyak 27 provinsi dilanda konflik. Konflik sosial naik 23,7 persen dibanding 2012. Di sepanjang 2013 menurut Neta terjadi 153 konflik sosial yang berakibatkan 203 orang tewas, 361 luka, 483 rumah dirusak dan 173 bangunan dibakar. Korban konflik sosial tak hanya warga sipil, tapi TNI dan Polri juga jadi korban.
Neta menambahkan selama 2013 ada 10 TNI yang tewas dan polisi 4 orang tewas. Sementara yang luka, ada 42 polisi dan 7 TNI. “Polri memang melakukan simulasi untuk amankan pemilu 2014, tapi melihat kesiapan polri selama ini kami menilai polri alamat kedodoran dalam tangani pemilu 2014. Sebab di tahun 2013 ada 153 konflik sosial yang tidak bisa dicegah dengan banyaknya korban,” pungkasnya.