Oleh : Abrari Alzael*
Pada mulanya, jumlah partai politik tidak sebanyak saat ini. Di era Orba, peserta pemilu hanya tiga. PPP, konon, representasi dari kelompok religius, Golkar teknokrat-birokrat, dan PDI dari kalangan nasionalis dan abangan. Dari sisi konseptual, tiga peserta pemilu itu sudah sangat baik meski tidak selalu baik dalam kenyataannya. Ini terbukti ketika Golkar menjadi monster saat itu dan sidang paripurna menjadi simbolis karena dilakukan secara mufakat untuk itu perlu musyawarah, dari seharusnya musyawarah untuk mufakat. Sidang umum ketika itu tidak seperti umumnya sidang.
Kemudian, penghuni di tiga peserta pemilu itu tidak seirama dan masing-masing pihak yang tidak tahan, hengkang, lalu membuat partai baru. Isi dari partai baru itu adalah orang-orang lama. Kemudian, sesuatu yang dihasilkan partai baru dengan muka lama ini tidak jauh lebih baik, untuk tidak menuliskan lebih buruk yang dibuktikan dengan suburnya korupsi. Bila dulu korupsi dilakukan segelintir orang dan pada batas ambang normal, hari ini korupsi semakin meluas (sistemik) dan kian horor.
Ibarat pemetik bunga, koruptor hari ini tidak hanya ingin mengambil daun, tetapi akar pohon berikut pot bunganya juga dicerabut dari lokasi berdirinya sebuah vas. Ini negeri macam apa, untuk tidak mengatakan negeri bedebah yang berlindung di bawah ketiak demokrasi. Di luar peserta pemilu yang banyak ini, sistem pemilu pun menenggelamkan substansi UUD 1945 yang mengguratkan peserta pemilu adalah partai politik. Tetapi saat ini, substansi peserta pemilu adalah para caleg dengan biaya tinggi di tengah pemilih yang memposisikan dirinya sebagai pemamah.
Oleh karena itu, pemerintah baru yang akan terbentuk melalui pemilu dan pemilihan presiden tahun ini, harus membuat sesuatu yang lebih substantif. Peserta pemilu harus dibuat lebih sederhana karena banyak parpol terbukti horor dan amat drakula di setiap musim pemilihan. Begitu pun, sistem pemilu perlu dikembalikan ke proporsional tertutup dengan memilih tanda gambar partai, bukan seperti saat ini yang menenggelamkan peran partai. Bila negeri ini ingin mengadopsi Amerika, pola asuh yang dibangun tidak melampaui induknya. Sebab, pemilu negeri ini sudah jauh lebih liberal dari Amerika baik dari sisi sistem maupun dalam hal kontestasi pemilu.
Pada dimensi yang lebih liberal, negeri ini melupakan hal lain. Pemilih pemula di Amerika untuk tercatat sebagai pemlih terlebih dahulu mendaftar secara transparan melalui media online. Sedangkan di negeri ini, pemilih pemula justru didaftar. Ini bukan semata-mata kalimat aktif (me) dengan pasif (di). Tetapi dari sisi psikopolitik, sistem pemilu yang jauh lebih liberal ini tidak dilengkapi perangkat politik lain baik dari sisi IT maupun SDM.
Apa yang dicari negeri ini? Wajah kelam ini baru dari sisi politik dimana imbalansi terjadi antara angan, kenyataan, dan kesiapan dari berbagai aspek. Maka harus diberinama negeri apalagi pada tanah ini selain bedebah, atau masih pantaskah negeri ini diberinama?
*Wartawan senior dan budayawan Madura