Perjalanan Hidup
Lahir dengan nama Said Abdullah dari pasangan Abdullah Sechan Baghraf dengan Fatimah binti Abdullah Gauzan di Sumenep pada Selasa, 22 Oktober 1963. Said meniti bangku sekolah dalam kemiskin dan harus berbagi dengan saudara yang banyak. Makanan kurang, uang jajan tak ada, pernah menjajakan manisan gula berbalut kelapa sewaktu Sekolah Dasar selama 2 tahun. Kehidupan yang bertumpu pada kekuatan, ikhlas dan tabah.
Ayahnya, Abdullah Sechan Baghraf adalah pensiunan PN. Garam tahun 1969, sebagai koki lantas memutuskan pensiun karena biaya hidup mahal dengan 3 anak dari istri ketiga. Lalu berdagang dari satu pasar kepasar lainnya dengan sepeda onthel satu-satunya. Selepas sholat Magrib, Said menemani sang ayah merangkai bunga plastik di kediamannya, Karangduak. Hal itu tidak berlangsung lama, 2 tahun saja membuat bunga plastik, karena tersaingi bunga dari bahan kaca.
Karangduak, belakang pos polisi salah satu saksi betapa Said hidup miskin dari rumah sewa satu ke satunya. Setelah pindah dan mendiami Kampung Arab di jalan Anggrek, pada tahun 1979, rumah yang ditempati selanjutnya tidaklah jauh berbeda. Pernah mendiami rumah dengan ukuran 3×4 bersama keluarga. Said akhirnya mengambil cicilan rumah sehargaRp. 27.500,00 di Batuan dalam keadaan tidak bekerja. Setelah itu Said menjadi tukang jahit, tukang pembuat kursi,tukang las, tukang cat ranjang hingga menjadi anak bola tennis.
Sang ayah yang sabar dan ibu disiplin serta berdedikasi tinggi, membukakan pintu kelancaran rezeki baginya. Setiap Senin dan Kamis, sang ibu berpuasa untuknya. Keberanian, kegigihan, kepintaran serta keberuntungannya akhirnya membuahkan hasil. Menginjak dewasa, keinginan untuk berpolitik begitu kuat. Setelah lulus SMA, dengan tekad bulat, dia meninggalkan kampung halaman untuk merantau ke Jakarta tahun 1986. Karena terbatas lulusan SMA, maka Said awalnya menjadi tukang cuci mobil.
Jalan hidup membawanya berkenalan dengan Khalida Ayu Winarti. Perempuan yang dinikahi tanggal 9 Agustus 1992 dengan butuh perjuangan. Bagaimana tidak, Said berani menikah tanpa didampingi keluarga untuk melamar gadis pujaannya yang sekarang memberinya 4 orang anak. Saat menikahi Khalida Ayu Winarti, Said bekerja di Export Import Ikan Tuna sebagai Manager Operasional.
Sosialis dan Politikus
Sosok sosialis sekaligus humanis dimilikinya untuk tetap bersahabat. Tak canggung berada diantara orang kecil, miskin, pinggiran. Mudah menyesuaikan diri. Bisa tidur di hotel berbintang sekaligus gubuk. Karakter masyarakat Madura yang pekerja keras dan tak kenal lelah. “Hal itu jangan sampai hilang dari darah Madura”, ucapnya. Sifat itu dimilikinya sejak kecil, yang gemar membaca buku-buku sang Proklamator, Ir. Soekarno. Bahkan tanda tangannya pun mirip tanda tangan presiden pertama tersebut.
22 Oktober tujuh tahun lalu, Said mendirikan Said Abdullah Institute (SAI) yang bergerak di kegiatan sosial kemasyarakatan dan kebudayaan. Lewat SAI lah, laki-laki asal pulau Garam ini banyak memberikan sumbangsih dan manfaat bagi sekitar sebut saja untuk masjid, mushalla, sekolah-sekolah madrasah/pesantren hingga berbagai jenis acara kebudayaan seperti yang dilakukannya akhir tahun 2012, yakni Kongres Kebudayaan Madura 2.
Sifat sosialis dan Humanis yang dimilikinya tak tercipta instant. Perjalanan hidupnya beserta keluarga membuatnya belajar memaknai dan menghargai hidup. Dari sinilah dia menuangkannya dalam salah satu Partai yang diyakininya menjadi dirinya; PDI Perjuangan. Rasa toleransi terhadap keragaman agama, budaya melekat pada dirinya. Menolak dan menentang kebijakan-kebijakan yang diskriminatif dan tidak berkeadilan.
Anggota DPR RI 2 kali periode ini telah banyak memberikan pemikiran terhadap majunya Madura untuk Indonesia. Mengajak masyarakat untuk mempunyai kesadaran dan memiliki kemandirian secara sosial, ekonomi, hukum, agama, budaya dan politik. Mutiara dari Timur ini memberikan wawasan dan membuka lapangan kerja di daerah kelahirannya, dengan mendirikan media informasi seputar Madura.
Kata-kata yang merasuk di jiwanya “Karmane vadikaratse mappalessu kadyana”, berjuanglah sekuat-kuatnya, seikhlas-ikhlasnya dan setulus-tulusnya agar kita memetik buahnya. Jikalau kita tidak memetik buahnya, maka anak kitalah yang akan memetiknya. Jika anak kita tidak memetiknya, maka pasti cucu kitalah yang akan memetik buahnya. (Soekarno).