Oleh : MH. Said Abdullah*
“Saya tak akan membalas kalimat kasar yang dilontarkan pada kader partai yang saya pimpin. Tak akan pernah,” jawab seorang pimpinan partai ketika diminta tanggapan oleh para wartawan, terkait serangan kasar pada partainya. “Rakyat akan mencibir jika para elite melontarkan kata-kata sarkastis. Dan yang berbahaya, kebiasaan-kebiasan kurang baik itu, bisa ditiru rakyat. Apa jadinya negeri ini jika antar elite, lalu antar rakyat mudah sekali melontarkan makian,” tambah politisi kawakan itu.
Dengan arif politisi yang kader partainya diserang itu mengingatkan bahwa jika antar pimpinan partai terjebak pertikaian kata-kata kasar, saling melecehkan sampai hal-hal fisik dan personal bukan luar biasa jika rakyat tergoda melakukan tindakan anarkis. “Para elite bisa dengan mudah duduk satu meja setelah saling serang. Sementara di lapisan bawah kadang sudah terpancing mengasah golok dan parang,” katanya mengingatkan.
Menumbukan kesadaran kepemimpinan memang jauh lebih sulit ketimbang keterampilan sekedar memenej. Bisa jadi seseorang memiliki kemampuan teknis menegerial hebat namun ketika memasuki areal kepemimpinan yang membutuhkan lanskap pemikiran luas serta bervisi ke depan dengan mempertimbangkan seluruh persoalan, ia masih terjebak ego kepentingan diri. Ia seperti lupa bahwa sepak terjang, kata-katanya mudah sekali ditiru oleh masyarakat yang dipimpinnya.
Bung Karno ketika diperlakukan sewenang-wenang oleh Soeharto sempat didesak oleh pendukungnya agar memberikan perlawanan. Namun Bung Karno lebih memilih menahan diri walau secara pribadi dirinya menjadi korban. Bung Karno menahan diri karena menyadari bila sedikit saja memberikan balasan, sudah pasti para pendukung setianya akan mengikutinya. Dan akhirnya, pertumpahan darah, perang saudara tak terelakan.
Begitulah seharusnya seorang memimpin. Ia tak terbelenggu kepentingan dirinya; tidak mengorbankan rakyat yang dipimpinnya. Ia selalu sadar berada di tengah-tengah pendukungnya. Ia tahu, apapun yang dilakukan akan mudah diikuti dan ditafsirkan berbeda. Jika Bung Karno misalnya, hanya mengeluarkan perlawanan kata-kata, para pendukungnya sangat mungkin mengangkat senjata.
Rakyat akan melihat dan meniru apa yang dilakukan para pemimpinnya. Karena itu, seorang pemimpin selalu memperhitungkan apa yang diucapkan dan dilakukannya. Sangat berbeda dampak seribu kata yang diucapkan rakyat dengan satu dua kata dari seorang pemimpin. Apalagi di era informasi dan komunikasi seperti sekarang ini, yang begitu mudah satu ucapan menyebar luas ke seluruh penjuru negeri bahkan dunia; hanya dalam hitungan detik.
Kritik, koreksi, menyerang kebijakan lumrah dalam pentas politik. Namun apapun itu disampaikan dalam bingkai yang tak hanya bertujuan mencapai sasaran kepentingan; mampu pula memberikan pencerdasan dan kedewasaan pada rakyat luas. Tidak kekanak-kanakan menyerang fisik, karakter dan yang bersifat kampanye negatif. Jauh lebih memberikan manfaat menyerang kebijakan disertai tawaran kebijakan lain, yang potensial lebih baik.
Bangsa ini sudah terlalu lelah terus berputar-putar dalam perilaku politik jauh dari mencerdaskan. Memberi solusi peningkatan kesejahteraan rakyat, jauh lebih diperlukan ketimbang sekedar lontaran kata-kata sarkastis antara elite, yang bisa membangkitan emosi masyarakat.
* Anggota DPR RI, asal Madura