Oleh: Moh Nurul Huda*
Di tengah hingar bingar kekayaan alamIndonesia, ternyata menyimpan beribu cerita yang pahit. Sebab, Kekayaan alam yang melimpah ruah tersebut tidak serta merta menjadikan Indonesia sebagai negara kaya. Akan tetapi, negara ini tetap saja mengalami kemiskinan yang dapat dibilang cukup parah.
Padahal, jika dipikir secara rasional, negara yang notabene memiliki kekayaan alam yang melimpah, seharusnya mampu memberikan kesejahteraan terhadap rakyatnya. Namun, idealitas tidak sejalan dengan realitas. Dan itulah cerita pahit negara ini.
Setidaknya, ada banyak faktor yang melatar belakangi kepahitan cerita tersebut. Mengutip dari pendapat Mahatma Gandi yang menyatakan bahwa alam akan mampu memenuhi segala kebutuhan manusia. Sebaliknya, alam tidak akan mampu memenuhi keserakahan manusia. Dan itulah realitas yang ada. Berbagai rentetan kasus korupsi merupakan satu contoh dari beribu kasus keserakahan manusia. Bahkan ironisnya, ironi tersebut, kini justru telah mendarah daging dan menjerembab ke seluruh lini kehidupan. Implikasi yang di dapati pun jelas. Kini, Indonesia disebut sebagai negara surga para koruptor.
Selain itu, penyebab utama dan bahkan paling utama yang menyebabkan Indonesia berada pada titik kemiskinan adalah kebijakan energi dari pemerintah. Yang pada hakikatnya, kebijakan tersebut hanya menguntungkan sebelah pihak, yakni investor asing. Inilah yang menyebabkan Indonesia hanya mampu meneguk ludah terkait dengan pengeksploitasian energi yang dimiliki. Padahal, menurut presiden SP prasada IV pertamina Jateng dan DIY Peri Ananda menyatakan, bahwa negara yang memiliki energi yang melimpah sudah barang tentu akan menguasai dunia. Dan pada hakikatnya, Indonesialah yang berpotensi besar untuk itu.
Akan tetapi, potensi besar tersebut, seolah-olah hilang tergerus kebijakan yang ada. Sejalan dengan realitas yang terjadi, kebijakan itu justru membuat Indonesia semakin degradasi. Namun, adanya realitas tersebut, tidak serta merta kita harus menyalahkan pemerintah semata. Sebab, untuk memutuskan kebijakan itu, pada dasarnya menimbulkan kedilemaan besar bagi sebagian kalangan. Dan setidaknya, ada tiga teori yang mendorong kebijakan tersebut pro terhadap pihak asing. Asumsi ini bukan serta merta hanya membenarkan pemerintah. Sebaliknya, pemerintah pun juga salah dalam mengambil kebijakan tersebut. Sebab, secara keseluruhan pemerintah memberikan keuntungan lebih pada pihak asing.
Tiga Teori Pendorong
Tidak terlepas dari presiden SP Peri Ananda, beliau juga mengemukakan, bahwa ada tiga teori yang melatar belakangi terkait dengan cara untuk menguasai energi. Teori pertama adalah melakukan invasi energi terhadap negara lain. Teori ini pada hakikatnya juga pernah dilakukan oleh pihak asing kepada Indonesia. Dan setidaknya, penjajahan merupakan satu contoh dari berbagai peristiwa yang ada. Berawal dari perjalanan bangsa portugis yang diprakarsai oleh Vasco De Gama pada tahun 1512. Perlabuhan pertamanya di daerah Banten pada dasarnya memiliki misi untuk berdagang dan menyebarluaskan agama kristiani.
Akan tetapi, menilik sosio historis bangsa Indonesia yang berkompeten untuk dilakukan invasi. Maka, secara perlahan namun sistematis, bangsa Portugis pun melakukan hal demikian. Alhasil, usaha tersebut pada akhirnya menggurita dan bahkan menjerembab ke seluruh sektor kehidupan. Lebih dari 350 tahun yang dibutuhkan oleh bangsa Indonesia untuk mengembalikan kemerdekaan yang sesungguhnya. Dan setidaknya, itu merupakan cerminan yang ideal untuk menggambarkan teori yang pertama. Kedua, teori ini, pada hakikatnya merupakan lanjutan dari teori yang pertama.
Teori ini tak lain adalah membunuh pemimpinnya. Sebab, John Gage Alle menyatakan, bahwa pemimpin adalah panutan, petunjuk, pemandu dan komandan. Oleh karena itu, ketika pemimpin tidak bisa dikuasai, maka sudah barang tentu langkah yang harus dilakukan adalah mematikan pemimpinnya. Ironi tersebut tak lain karena pemimpin merupakan alat vital yang mampu memberikan, memerintah, dan bahkan melarang adanya kebijakan yang ada. Maka dari itu, teori ini merupakan manifestasi dari bentuk pengkudetaan oleh pihak tertentu. Bukti nyata yang dapat ditampilkan dari teori ini adalah kematian presiden Venezuela.
Teori yang ketiga, pada hakikatya juga lanjutan dari teori pertama dan kedua. Ketika kedua teori tersebut belum mampu menguasai energi. Maka, langkah yang ketiga adalah memiskinkan negara tersebut. Dan pada dasarnya Indonesia pun pernah mendapatkan getah dari teori yang ketiga ini. Sebab, setelah Indonesia merasakan pahit getirnya invasi yang telah terjadi. Maka, untuk merasakan kedua kali, serasa sulit untuk dilakukan. Sebab, pepatah arab mengatakan, bahwa hanya keledai yang jatuh pada lubang yang sama. Maka dari itu, langkah yang ketiga ini pun dilakukan guna menguasai energi potensial dalam negeri.
Untuk menunjukkan kebenaran teori ini, setidaknya krisis moneter pada tahun 1997 juga merupakan satu realitas dari berbagai realitas yang ada. Bermula dari perubahan ekonomi secara cepat, menyebabkan nilai tukar mata uang dan kebutuhan pokok melonjak. Bahkan, tidak hanya pada Indonesia, negara yang notabene tergolong maju pun menuai implikasi krisis tersebut. Dari ujung itulah, yang menyebabkan Indonesia melakukan peminjaman pada IMF sebesar 23 milyar dollar. Yang pada dasarnya, dari hutang tersebut menyebabkan pembengkakan dan Indonesia menjadi negara pengekor.
Nah, menilik adanya realitas demikian, demi mewujudkan kedaulatan energi dan kesejahteraan bersama. Maka, Jokowi-JK harus berani mengambil kebijakan yang pro terhadap masyarakat. Dengan kata lain, Jokowi dan kepemerintahannya, harus berani melakukan renegosiasai terhadap pihak asing. Sebab, hanya dengan cara itulah, yang setidaknya mampu menjadikan Indonesia sebagi negara adidaya, yang berdiri sama tegak dan duduk sama rendah dengan negara lainnya. Wallahu a’lam bi al-sowab.
*Sekretaris Umum di Lembaga Studi Agama dan Nasionalisme (LeSAN) dan Peneliti Muda Aliansi Penulis Idealis (API) IAIN Walisongo Semarang