Oleh : Abrari Alzael*
Betapa susahnya tersenyum pada raga yang tersayat. Seperti situasi di mana seorang perwira tidak mendengar keluh serdadu yang berdesah, darah itu merah jenderal ; sakit dan perih. Afrika memprihatinkan saat itu. Kerontang kemarau yang memicu kelaparan terus memburuk. Ethiopia, Somalia dan Kenya, mengalami hal yang sama, waktu itu. Indonesia kita memang tak serupa. Tetapi di republik demokratik ini, banyak orang yang berebut makan dengan lalat meski belum terjadi sekumpulan burung nasar yang mengelilingi mayat dengan iga yang menembus dada.
Enam tahun lalu, kabar duka bertiup dari Makassar. Seorang ibu hamil meninggal bersama anaknya yang masih dalam kandungan. Mereka diduga mati karena kelaparan. Tetapi pemerintah membantah. Versi dinas kesehatan di Makasar, mereka meninggal lantaran kekurangan cairan tubuh dan menyebabkan keduanya diare, lalu mati. Kematian ibu dan anaknya ini merupakan tamsil kecil dari hidup yang penuh ratap anak bangsa, di negeri ini.
Suasana hati menjadi berbeda, ketika ibu dan anak itu bukan siapa-siapa tetapi mendapat simpati. Kematian seorang maha penting di Venezuela, Hugo Chavez, justru disambut suka-cita. Sebab tewasnya Chavez dianggap bisa mengurangi kekejaman kapitalisme di dunia ketiga. Namun, rakyat juga lupa bahwa kapitalis dan kekejaman itu akan terus lahir sepanjang bumi manusia, di republik ini pun hal serupa terjadi dengan cara yang tidak serupa Venezuela.
Di Jepang, terdapat legenda horor. Membaca puisi (haiku), nyawa seseorang dapat diantar pada kematian. Tomino, seorang anak perempuan yang terlahir cacat, suatu ketika merajut puisi untuk orang tuanya. Namun karena puisi itu mengandung makna aneh dan mengerikan, gadis kecil ini dimarahi. Ia dihukum dalam ruangan sempit tak diberi makan, dan meninggal dalam kelaparan lantaran puisi lirik yang berbau kematian, penyiksaan dan kegelapan.
Melihat Ethiopia dan Tomino, seperti memandang wajah sendiri yang renta. Raut berkerut pada dahi yang datar. Selingkuh penguasa-pengusaha menyebabkan labirin kematian secara massif. Banyak yang wafat sebelum ajalnya tiba karena dibunuh sistem-SDM yang menggurita. Kematian itu pada tingkatan ide dan ode. Wajah anak negeri yatim piatu secara kontekstual pada bapak bangsa dan ibu pertiwi yang perkasa dan tidak berkorban untuk kebersamaan derita untuk bahagia yang tak berbeda.
Di semesta ini, publik merindu Takeshi Miura dan Miki Endo yang berkorban diri untuk kehidupan orang lain saat tsunami menyapu Jepang. Dua orang itu bertahan di pos dan menyeru agar semua penduduk lari menyelamatkan diri. Ketika ombak sejauh 10 meter di depannya, petugas itu tetap menyiarkan peringatan. Ini dilakukan hingga saat-saat terakhir tubuh mereka tewas disapu gelombang besar.
Vincent Coleman melakukan hal serupa di Nova Scotia (Kanada) ketika diterpa ledakan Halifax mematikan. Dentuman ini terjadi saat sebuah kapal sarat amunisi bertabrakan. Api berkobar dahsyat dan menyambar daratan. Coleman, seorang operator lalu lintas kereta berada di stasiun ketika api menyembur. Ia bertahan dan memperingatkan kereta lainnya agar berhenti supaya terhindari kobaran api. Peringatannya berhasil mencegah jatuhnya korban, namun ia terpanggang dan mati.
Jagat ini juga merindu Arland Williams. Ia menyelamatkan Air Florida Flight 90 saat menabrak danau beku di tengah badai salju. Tetapi Indonesia kita hari ini, berkali-kali, hidup sendiri-sendiri dan tak mati-mati dengan kesunyiannya itu. Meskipun, seharusnya senyap lebih perih dari belati dan ini tak terindera karena republik ini mati rasa, sampai hari ini. (*)
*) Budayawan Madura