Oleh : Pandu Rachmatika*
Selain konflik pasca-Pilpres 2014, perhatian masyarakat kini juga tertuju pada isu pembentukan kabinet yang baru. Pasangan terpilih Jokowi-JK mantap dengan konsep koalisi ramping yang berlandaskan kerjasama yang tulus-tanpa syarat dan anti terhadap formulasi bagi-bagi kursi menteri. Sebagian masyarakat lebih mendukung gaya koalisi ini karena bercermin pada tidak ampuhnya koalisi setgab jilid dua yang dipimpin oleh Presiden Yudhoyono dan Partai Demokrat meskipun didukung oleh kekuatan dominan di parlemen. Sedangkan lainnya berpendapat bahwa pada sistem presidensial yang bercita-rasa parlementer seperti di Indonesia, dukungan partai politik (parpol) yang kuat akan sangat krusial berpengaruh pada terlaksananya program-program yang diluncurkan oleh pemerintah.
Tapi apabila ditinjau lebih dalam, apakah pemerintahan yang solid dan efisien itu semata-mata ditentukan oleh besar-kecilnya jumlah suporter di parlemen?. Atau ada hal-hal lain yang bisa kita tinjau sebagai pertimbangan pembentukan kabinet?.
Kroni Politik
Dennis Thompson, professor filosofi politik di John F. Kennedy School of Government Harvard University, membagi jenis koalisi politik menjadi dua berdasarkan motivasi dan cara pembentukannya. Yang pertama adalah koalisi kerjasama yang didasarkan pada persaingan terbuka antar peserta koalisi atau sistem meritokrasi. Koalisi semacam ini disebut sebagai ‘political alliance’ atau persekutuan politik. Sedangkan yang kedua adalah yang terbentuk karena kedekatan dan kepentingan antar peserta koalisi atau disebut sebagai ‘cronysm’ atau kroni politik.
Dalam dunia akademis yang objektif-pun, istilah kroni politik cenderung diasosiasikan dengan impresi yang negatif (derogatorily perceived). Ini disebabkan oleh dampak buruk yang sering ditimbulkan oleh kroni politik terhadap kualitas pemerintahan dan pelayanan publik. Seorang presiden –yang meskipun berkuasa penuh dalam sistem presidensial– seringkali tidak mampu/mau memilih menteri yang benar-benar ahli dan sesuai dengan pos kementerian yang dipimpinnya, lalu ‘dihibahkan’ saja kepada kader parpol peserta koalisi. Ini bisa dikarenakan oleh kepentingan antara presiden dengan para ketua partai peserta koalisinya dan adanya resiko penarikan dukungan di parlemen sehingga berpotensi menghambat terlaksananya kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh kabinet. Karena proses tawar-menawar kekuasaan inilah kroni politik sering disebut sebagai politik dagang sapi di Indonesia.
Kroni politik juga sering mengakibatkan terjadinya disharmoni dalam tubuh koalisi itu sendiri. Karena bagaimanapun,pada awal pembentukannyakroni politik mengesampingkan ideologi masing-masing parpol peserta koalisi sehingga para anggotanya tidak akan kompak mendukung rencana-rencana yang digagas oleh pemerintah. Peneliti politik seperti Helen Hughes (1999) dan David Kang (2002) bahkan berpendapat kabinet kroni beresiko menimbulkan krisis perekonomian di suatu negara. Hughes menyebut kroni politik yang berevolusi menjadi ‘crony capitalism’ adalah biang keladi krisis moneter Asia pada tahun 1997-1998. Ini disebabkan adanya keberpihakan yang irasional dari para pejabat negara kepada pengusaha-pengusaha nasional maupun asing yang dekat dengan lingkaran kekuasaanya. Hal tersebut bisa dalam bentuk pemberian utang pemerintah, pengurangan pajak, dan intervensi pemerintah lainnya yang tidak dikalkulasi secara matang sehingga menimbulkan krisis di kemudian hari.
Seleksi Terbuka
Meski dianggap memiliki dampak negatif, dalam realitas politik Indonesia sulit untuk mewujudkan kabinet koalisi yang kental akan nilai-nilai meritokrasi. Selain tarik-menarik kepentingan politik yang rumit, juga karena masih kurangnya kualitas sifat kenegarawanan dalam diri ketua parpol dan anggotanya yang seringkali demi kekuasaan memaksakan diri untuk memegang pos-pos kementerian yang kenyataannya sering tidak cocok dengan kualifikasi pendidikan atau pengalamannya. Sebenarnya hal ini bisa diatasi dengan cara partai-partai politik peserta koalisi mengadakan seleksi terbuka secara internal yang diikuti oleh anggota partai sendiri dan para ahli di luar partai. Presiden terpilih dan masyarakat umum bisa turut dilibatkan dalam proses penjurian ‘audisi’ ini. Apabila yang dinilai pantas adalah orang yang bukan kader partai, toh mereka akan tetap menjabat posisi menteri sebagai representasi keterwakilan partai-partai tersebut di kabinet. Jadi saat performa mereka baik, partai jugalah yang akan mendapatkan buah citra positif dari masyarakat. Disamping itu, kabinet yang bekerja dengan optimal juga pasti akan kuat karena didukung oleh rakyat dan (seharusnya) DPR.
Kabinet koalisi tersebut bisa terbentuk apabila ada leadership yang kuat dari pasangan terpilih untuk ‘memaksa’ partai-partai peserta koalisinya agar bagaimanapun caranya menyediakan calon-calon menteri yang loyal pada presiden dan yang terpenting ahli serta cocok di posisinya masing-masing. Selain itu tentu saja harus ada kelegowoan dan sifat kenegarawanan dari para pemimpin partai politik sendiri yang tidak melulu memaksakan diri dan kroninya saja yang mendapatkan kue kekuasaan. Presiden Amerika Serikat ke-40 Ronald Reagan pernah berujar‘government’s first duty is to serve the people, not run their own lives’.
*) Peneliti politik di Sogang University, Korea Selatan.