Oleh: M. Fauzi*
Writing is Advanture (Ernest Hamingway)
Muqaddimah
Menulis adalah petualangan, begitulah Hamingway menuturkan dalam kerja kreatifnya, yang disusul oleh pengikut-pengikutnya, semisal Gabriel Gracia Marquez dan Pablo Neruda. Sebagai kerja petualangan, ia menyuguhkan pelbagai peristiwa yang melekat di dalam cara kerja berpikir, berimajinasi, menuangkan sejarah perjalanan kalbu dengan idiom—simbolik, idiom—semiotik yang dibangun oleh arsitektur bahasa sebagai perekatnya.
Menulis merupakan pekerjaan ‘antara’, yakni antara ‘kau dengan realitas’, antara ‘kau dengan ideologi’, antara ‘kau dengan wacana’, antara ‘kau dengan realitas’, antara ‘kau dengan pikiran’, antara ‘kau dengan ilmu pengetahuan’, antara ‘kau dengan agama’, antara ‘kau dengan hal ihwal’, antara ‘kau dengan benda-benda’, antara ‘kau dengan yang berpunya kau’, antara ‘kau dengan pemilik tanah’, antara ‘kau dengan negara’, antara ‘kau dengan sesuatu yang jauh di luar kau’, antara ‘kau dengan waktu’, antara ‘kau dengan sepi’, antara ‘kau dengan imajinasi’, antara kau dengan bahasa kau’.
‘Antara’ memiliki filosofi ‘penyeimbang’ di dalam menyuguhkan lalu lintas peradaban manusia yang berkembang biak di dalam aquarium kata-kata, bahasa dan estetika. Estetika lahir dari imajinasi yang berpetualang menyeberangi sepi, yakni dimensi—ruang dan waktu. Mendiami ruang dan waktu adalah ruang kontemplatif yang harus dilakukan oleh seorang kreator di dalam menerjemahkan pelbagai realitas yang nyapsap dan nyapcap dari embun tawajjuh. abstracto in concreto!
Abstracto in concreto merupakan sebuah ruang imajiner yang melakukan petualangan atau perjalanan imajinasi bangunan teks yang mengejawantah dalam realitas pikiran, meluap menjadi imajinasi, kemudian menjadi realitas teks yang mampu berbicara dan menyapa pembaca.
Petualangan kreatif akan terus berlanjut dalam ruang sudut dan sujud, sehingga mengantarkan kata pada sebuah realitas dari luar dirinya. Terjadilah internalisasi teks dan eksternalisasi teks dalam ruang kesadaran—simbolicum yang acapkali tidak dipahami secara utuh oleh kreator (penulis). Pemahaman tersebut ditopang oleh kemampuan dan kecakapan seorang kreator di dalam menampung kata-kata (diksi) menjadi sebuah karya yang berkualitas dan bernash.
Kata-kata memiliki interrelasi—semiotik dengan pelbagai realitas, yakni realitas yang bergereweng dalam alam bawah sadar manusia (kreator), yang berlumampa diantara hikayat imajinasi—bahasa. Jadilah bahasa puitik.
Bahasa puitik tidak sekedar hadir dengan menyuguhkan artefak-artefak sejarah, ilmu pengetahuan, agama, politik, budaya dan nilai-nilai tradisi, tapi dia menjadi sebuah proses ‘pelampauan’ dari realitas yang ada. Jadi, bahasa puitik memiliki perangkat-perangkat semiotik (metafora) dan estetika. Simbol-simbol yang ada dibaliknya seperti matra wazan dari segala persoalan yang rumpang dan penuh undakan di dalam masyarakat atau realitas. Selain itu ia bergerak dengan membawa keajaiban-keajaiban dari dunia di luar dirinya.
Oktavio Paz mengetengahkan ‘suara-suara lain’ di dalam dan di luar dirimu (the other voice) yang datang tanpa disadari oleh diri kita. Suara yang mungkin jauh, impossible, tidak mungkin dan mustahil, kehadirannya seperti kilat berlepasan diangkasa, seperti cahaya yang kecepatannya sulit ditangkap oleh mata, tapi dapat dirasa substansinya.
Arsitektur Kata Dalam Estetika Tubuh
Proses kreatif adalah daya cipta, daya nalar, daya imajinasi yang ada pada setiap manusia, termasuk diri kita. Setidaknya hal ini yang harus membuat diri kita untuk mampu menerjemahkan hal-ihwal yang bakal, akan, dan sesuatu yang melampau untuk terjadi.
Tangan-tangan kreatif akan menyuguhkan menu sajian yang menarik, dan mampu diterima oleh semua kalangan dengan segmentasi pasar yang sudah diperhitungkan sebelumnya. Maka diperlukan sebuah penyedap rasa, yakni rasa dari bahasa yang memiliki daerah pengucapan. Bahasa yang tidak kehilangan kemerdekaannya, bahasa tidak memiliki beban cukup berat untuk memikul segala persoalan yang dimiliki penulisnya.
Kata dalam bahasa diletakkan dalam garis demarkasi struktur—liturgis, sehingga melahirkan monster-monster gelap yang tak dapat ditafsir keberadaannya, ia berada dalam pecahan simulakrum benda-benda, padahal kata dalam bahasa dapat berjuang menentukan nasib dan takdirnya. Dan kata dalam bahasa tidak membawa sengketa dengan diri kita.
Acapkali orang-orang memiliki sengketa dengan bahasa yang diucapkan, sehingga melahirkan segudang dendam, emosi yang berkarat dan sejumput persoalan yang berakhir pada kekerasan. Maka tidak salah ketika pribahasa menuturkan ‘mulutmu adalah harimaumu’, atau ‘keselamatan manusia terletak pada lisannya’.
Hal ini menunjukkan bahwa kata atau bahasa memiliki kekuatan dan menjadi penentu di dalam kehidupan sosial, termasuk di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahasa yang keluar dari struktur tubuhnya, akan menciptakan disintegrasi, perpecahan sekaligus konflik sosial alias konflik horisontal.
Arsitektur kata dalam tubuh bahasa harus mencipta estetika, yakni arsitektur kata yang mampu menggerakkan realitas, termasuk realitas yang ada di luar dirinya. Kata dalam bahasa memiliki nilai dan makna, sehingga memerlukan ruang kontemplasi dan refleksi bagi seseorang untuk menuliskannya menjadi sebuah wacana dalam kehidupan sehari-hari.
Arsitektur kata dalam estetika tubuh pada hakikatnya adalah bahasa jiwa, bahasa hati yang tak dapat menyakiti, melainkan bahasa yang mengalir seperti air bening, menyejukkan dan syarat dengan makna, sehingga ketika orang lain mendengarkan mendapatkan ketenangan, merasakan sejuk dan damai.
Maka, bahasa memiliki fungsi perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga melalui bahasa segala bentuk kekerasan dapat dihindari dan segala bentuk konflik dapat didamaikan, hanya melalui media atau perantara bahasa. Bahasa memiliki peranan yang signifikan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Jadi, arsitektur kata dalam estetika tubuh tidak hanya hadir sebagai luapan emosi dari seseorang, melainkan hadir dengan berbagai dinamika yang berkembang. Arsitektur kata adalah dasar di dalam mengungkap realitas sosial, realitas politik, realitas ekonomi, realitas budaya dan realitas agama. Kata tidak hadir dengan serta-merta melainkan melalui proses kontemplasi dan perenungan-perenungan, sehingga melahirkan nilai.
*) Ketua Prodi Pend. Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Sumenep