:untuk Matroni Muserang
Oleh : Khairul Umam *
Dia semakin menjauh, mengiringi malam yang terus beranjak. Kutatap punggungnya yang digelayuti tas gendong. Langkahnya pelan namun pasti. Dia takkan kembali. Sesekali jari-jarinya yang lentik menekan tombol-tombol HP-nya. Dilekatkan ke telinganya, berbicara sebentar dan kembali berjalan. Sesekali berhenti. Kukira dia akan menoleh padaku, meski hanya sekilas. Ah, ternyata aku salah. Sama sekali dia tak mempedulikan aku. Dia hanya termangu sendiri.
Kurasa pertemuan kami begitu singkat. Beberapa tahun yang lalu, bersama seorang temannya, yang kebetulan juga temanku, tiba-tiba dia sudah duduk di hadapanku dengan jaket biru bermutif hitam dan songkok kain berwarna kelabu. Dia pendiam, namun bukan berarti tak acuh. Kutahu dia memperhatikan dengan seksama setiap pembicaraan yang kulakukan dengan temannya itu. Sesekali hanya mengangguk dan tersenyum tipis. Jika ditanya, hanya menjawab sekadarnya.
Meski sekilas, keyakinanku akan keluhuran budi dan ketekunannya sudah bulat. Entah dari mana keyakinan itu datang, yang jelas aku tak punya keahlian semacam ini sebelumnya. Mungkin insting saja, atau entahlah. Sebagai manusia biasa aku hanya bisa mengikuti firasat yang kuyakini benar adanya. Anehnya, setelah pertemuan itu firasatku sering tumbuh pada apa saja: pada sebuah peristiwa, keadaan, atau pada tingkah laku teman lainnya. Anehnya, semuanya benar.
Setelah malam ini, kami tak akan lagi bersama. Dia sudah ditunggu keluarganya di kampungnya dan aku masih harus menyelesaikan studi di Yogyakarta. Aku memang tidak menangis, tapi hatiku begitu teriris. Beribu gejolak menghantam dadaku hingga terasa ngilu. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana hidup di kota orang hanya sendiri, apa lagi masih belum begitu kukenal. Mungkin temanku yang lain masih banyak, tapi itu bukan jaminan membuatku lebih bergembira. Teman bagiku bukan hanya sekadar berkumpul, minum teh atau kopi bareng, nonton bareng, jalan-jalan bareng bahkan tidur bareng. Teman adalah teman yang bisa saling mengisi dan memperbaiki. Itulah yang kudapatkan darinya selama ini.
Diam-diam air mataku menetes membasahi pipi, membasahi leher, membasahi kaos dan membasahi hatiku. Syukurlah dia tidak tahu. Dia sudah berlalu dari hadapanku. Entah dia juga menagis atau tidak. Sebenarnya, air mataku sudah hendak mengalir sejak melihatnya berkemas, namun aku tak ingin perpisahan ini—yang hanya sementara—menjadi begitu melangkoli. Biarlah tak ada yang tahu bahkan lelaki itu, dalam kekar tubuhku ternyata terdapat kehalusan rasa yang mampu meluluh-lantakkan semuanya.
Sejak pertemuan kali pertama itu, kami memang tidak pernah bertemu. Bahkan di awal studiku kami masih tak berkomunikasi begitu inten. Sesekali saja jika kebetulan ada acara kami berjumpa dan setelah itu tak ada. Kos kami berjarak begitu jauh. Namun dari pertemuan-pertemuan kecil dan singkat itu keyakinanku akan firasat yang pernah terlintas di benakku beberapa tahun lalu kembali muncul. Seperti ada magnit yang berusaha mempersatukan kami, begitu kuat hingga kusadar kami telah begitu dekat.
“Hidup ini sederhana, belajar dan menulislah maka kau akan mendapat manfaatnya.”
Begitulah dia selalu menasihatiku.
Malam ini memang tak ada mendung yang menggumpal dan bulan tsabit terlihat jelas mengambang diantara kedipan bintang yang muncul tenggelam. Sedang cahaya lampu kota begitu benderang. Deru knalpot mobil, motor, bus dan ketipak kuda penarik andong saling berebut masuk meminta perhatian untuk didengar. Namun, semuanya mengabur dan mendung menyapaku begitu pekat. Di sini, di hati ini.
“Ah, ada apa denganku? Bukankah ini hanya permainan waktu saja? Aku tak boleh berlarut dengan perasaan. Aku harus tegar dan kembali berjalan meski harus sendirian.”
Aku membatin.
“Jagalah adik-adikku nanti. Pantaulah sekadarnya saja. Tanyakan kemajuan balajar dan menulisnya.”
Suaranya lirih namun terasa begiu tegas. Dia memang tidak pernah berubah: seorang pelajar yang ulet dan penulis yang produktif. Sebenarnya aku sempat merinding mendengar pesannya sesaat sebelum dia meninggalkanku yang masih berdiri di luar pagar terminal. Memang sederhana, tak banyak meminta namun begitu berat kurasa.
Aku kenal betul siapa dia, bagaimana memeperlakukan adik- adiknya. Meski sesekali terlihat menjengkelkan namun ada kebenaran yang terpendam di dalamnya. Dia begitu tegas namun tidak keras. Kata-katanya terdengar selalu ketus dan dingin namun dia sangat peduli dan bijak dalam memimpin. Lalu, apakah aku yang baru setahun saja tinggal di kota pendidikan ini bisa menirunya? Kalau begitu kenapa dia harus memasrahkan adik-adiknya padaku, bukan pada temannya yang lain yang lebih seneor dan juga lebih lama hidup bersama mereka di sini? Ah, aku hanya bisa mengangguk canggung karena bagaimana pun ini adalah tanggung jawab yang dia berikan padaku.
“Mulai saat ini kupasrahkan mereka padamu.”
Dia pun pergi dengan sedikit senyum. Entah senyum bahagia, sedih, haru, atau apalah aku juga tak sempat memaknainya. Aku hanya termangu sambil melihat punggungnya yang bergetar bersama langkahnya yang pelan namun begitu kuat dan pasti.
*****
Setelah malam ini kami tak akan bersama lagi. Meski hanya sementara, namun ini akan mengubah semuanya. Di rumahnya dia akan menjadi masyarakat yang utuh dan sebentar lagi seorang istri akan menemaninya. Sedang di sini, di kota pendidikan ini, aku masih harus berjuang melawan rasa kantuk, malas dan penyakit mumet lainnya seorang diri. Mengurus adik-adikku yang baru dengan penuh sabar dan perhatian yang sama dengan dirinya.
Sesekali aku bergidik merinding. Takut tak mampu memegang amanahnya. Namun, sebagai seorang yang dituakan ini harus kulakukan.
“Ah, malam. Seandainya aku bisa meminta biarlah kau tinggal lebih lama bersamaku karena dengan cara itu sedih dan bimbangku tak akan diketahui siapa pun selain dirimu. Bukankah engkau adalah sebaik-baik makhluk yang bisa menyimpan rahasia begitu rapi?”
Kembali membatin.
Kustarter motorku. Mengambil stand untuk keluar dari kerumunan pengantar yang mulai berjubel. Hendak membelakanginya yang masih berdiri di depan sebuah bus malam, menunggu seorang teman yang kebetulan mudik bareng. Kujalankan motorku perlahan, sangat pelan. Mengenang setiap inci jalan yang pernah kami lalui bersama, entah berapa kali aku tak sempat menghitungnya.
Tiba-tiba memori itu begitu subur bermunculan menyesaki kepalaku. Di jalan ini kami sempat tertawa bersama, sesekali dia memarahiku dan sebaliknya. Pun di jalan ini kami lewati dengan diskusi-diskusi kecil. Motor inilah yang menjadi saksinya. Ia memang tidak bisa berkata apa lagi berpikir, tapi kutahu dia telah menyaksikan segalanya. Aku pening. Air mataku semakin memebludak tak bisa tertahankan. Ia mengalir kembali membasahi pipi, leher dan kaos lusuhku.
Di simpang tiga menuju bekas kosnya dan adik-adikku yang baru, kumatikan mesin motorku. Menepi. Kuusap air mataku, kuatur nafasku dan kubuat seperti tak ada apa-apa. Setelah begitu yakin kembali kuhidupkan motorku. Biarlah tak ada yang tahu bahwa aku telah menangis begitu lama untuknya. Biarlah motorku yang menjadi saksinya. Hanya motorku, seperti saat kami berdua di kota ini. Kutahu adik-adikku yang baru telah menungguku.
Jogja, 01 September 2014
*Penulis adalah antropolog, esais, dan penyair yang pada saat ini sedang menempuh pendidikan pascasarjananya di UGM-FIB Antropologi.