“Goresan tinta pena ulama lebih mulia dari pada percikan darah syuhada” (Al-Hadist)
Ada anggapan umum di kalangan mahasiswa bahwa tidak semua dosen terampil menulis. Ada sebagian dosen yang sebenarnya hanya pandai memberi tugas menulis sedangkan dirinya sendiri tidak bisa menulis. Buktinya, hanya sedikit dosen yang mampu mengabadikan namanya di media massa sebagai penulis artikel.
Memang artikel di media massa tidak bisa dijadikan sebagai alat ukur kualitas intelektualitas seorang dosen. Namun, bila ada tulisan dosen berhasil dipublikasikan, maka sedikitnya ada dua manfaat praktis yang dapat diperoleh, yaitu legitimasi keilmuan dari mahasiswa dan keteladanan intelektual. Keteladanan ini penting karena dapat menjadi bukti bahwa dosen bersangkutan tidak hanya pandai menyuruh mahasiswa membuat karya tulis, tapi dirinya sendiri sebagai insan akademis juga bisa menghasilkan karya tulis.
Sebagai akademisi yang bergelut dengan dunia ilmu dan terikat oleh Tri Dharma Perguruan Tinggi, wajar kiranya bila seorang dosen wajib hukumnya untuk bisa menulis dan menghasilkan karya tulis. Ini disebabkan karena menulis merupakan elemen vital dari pengembangan ilmu pengetahuan. Karena itu, bila dosen hanya bisa mengajar an sich tanpa diimbangi oleh kemampuan menulis, lantas, apa bedanya dengan guru sekolah dasar atau guru taman kanak-kanak? Bila guru SD atau TK tidak bisa menulis, maka masih dapat dimaklumi. Namun, jika seorang guru di perguruan tinggi tidak bisa menulis dan menghasilkan karya tulis apakah ini masih dianggap wajar?
Keterampilan Wajib
Beberapa tahun lalu, jumlah dosen di negeri ini masih sekitar 270 ribu orang, dan 23 ribu atau kurang dari 10% diantaranya telah berpendidikan S3. Mengingat kompetensi dosen sangat vital perannya dalam pengembangan dunia kampus, maka logis sekali bila Menteri Pendidikan Nasional kala itu kemudian menargetkan harus ada tujuh ribu doktor baru setiap tahunnya (Jawa Pos, 17/12/2010).
Sepintas upaya ini dapat dipahami sebagai terobosan luar biasa dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan tinggi Indonesia. Namun jika niat memperbaiki hanya terfokus pada target jumlah doktor semata bukan pada kualitas akademisnya, maka program ini justru akan meruntuhkan pilar-pilar pendidikan itu sendiri. Apalah artinya ribuan dosen telah berpendidikan S3 jika kualitas yang dimiliki tidak sebanding dengan strata pendidikannya. Padahal idealnya, semakin tinggi tingkat pendidikan formal dosen maka semakin matang kualitas dan keterampilan akademisnya.
Jika titik tekan orientasi pendidikan lanjutan dosen lebih berpusat ke arah kuantitas yang dihasilkan setiap tahun bukan pada kadar kualitasnya, maka itu sama saja dengan menciptakan iklim reproduksi praktik plagiasi yang kondusif di kalangan akademisi. Untuk persoalan ini sudah banyak fakta empiris yang membuktikan kebenarannya. Kendatipun yang muncul ke ruang publik jumlahnya kecil namun hal ini tidak bisa disepelekan begitu saja. Mencuatnya kasus tersebut adalah potret nyata rendahnya keterampilan akademis dan lemahnya mentalitas ilmuwan para dosen.
Reproduksi praktik plagiasi karya tulis di dunia kampus sebenarnya dimulai dari tebaran benih-benih dosen munafik yang berkeliaran. Dikatakan munafik karena hampir semua dosen pernah “memaksa” mahasiswanya untuk bisa menulis seperti tugas membuat makalah misalnya, padahal dosen bersangkutan tidak bisa menulis. Bukankah orang yang hanya bisa menyuruh sholat sedangkan dirinya sendiri tidak mau sholat adalah orang munafik?
Pada titik inilah menjadi seorang dosen bukan perkara mudah. Tidak cukup sekedar keterampilan mengemas kegiatan belajar mengajar dalam ruang perkuliahan semenarik mungkin agar tidak membosankan. Apalagi sekedar mengajar demi terpenuhinya target jumlah pertemuan. Tanpa bermaksud menyepelekan kompetensi mengajar dosen, menulis adalah salah satu keterampilan akademis yang wajib hukumnya dimiliki oleh dosen, karena menulis adalah satu diantara beberapa elemen dasar dari pondasi pengembangan ilmu.
Bagaimana mungkin endapan-endapan teoritis beserta seperangkat metodologis yang seharusnya digunakan untuk membaca realitas kekinian tersaji sebagai menu keilmuan yang bisa dikonsumsi oleh khalayak ramai jika tidak pernah diasah. Bagaimana bisa mengembangkan wacana ilmu pengetahuan jika kegelisahan-kegelisahan intelektual hanya berkecamuk di ranah pikiran saja tanpa ada upaya mendiskusikannya ke ruang publik. Pada kondisi seperti ini kemampuan menulis dosen begitu berarti, tidak hanya bagi yang bersangkutan tapi juga untuk kampus yang menaunginya.
Sebagai salah satu tempat pengembangan ilmu pengetahuan, maka keterampilan menulis dosen harus mendapat perhatian khusus. Karena bila kampus hanya dihuni oleh para akademisi yang tidak mampu atau tidak mau lagi menulis, maka niscaya suatu saat nanti kampus tak ubahnya seperti museum pendidikan. Maka benar jika ada yang mengatakan kalau mau menjadi dosen itu syarat wajibnya harus bisa menulis dan menghasilkan karya tulis. Kewajiban ini disebabkan karena dunia dosen adalah dunia ilmu sehingga hasil goresan penanya begitu berharga.