Percakapan membutuhkan kesetaraan. Jika ada satu pihak yang merasa inferior atas pihak lain dan sebaliknya, solusi bersama tidak mungkin bisa dicapai. Ini sebagian kecil dari momen penting dari arti substansial komunikasi. Orang bisa gelap mata dan sempit akal ketika kebuntuan hidup menyergap seperti dalam film Kuldesak. Empat tokohnya punya cara sendiri-sendiri menghadapi kebuntuan itu. Ada yang memilih berhati ringan, tapi ada juga yang mengakhirinya dengan senapan.
Dalam keseharian, aktivitas yang rutin, kebuntuan kerap menerkam, mentok menghadapi teman sejawat yang koppeg, pekerjaan yang memburu, sementara tenggat tak bersahabat. Debat yang tak berkesudahan, sementara solusi harus segera diputuskan. Semua keadaan ini mendorong orang untuk mengambil dua sikap ekstrim: diam atau bersikap keras. Ini dua pilihan yang kerap kali tak terelakkan.
Percakapan krusial ini terjadi di republik dewan (Sumenep) yang beraroma gonjang-ganjing. Di gedung parlemen ini, ada dua faksi yang bermula dari kebuntuan komunikasi antar orang penting di elit politik. Faksi pertama terdapat di PKB (7), Demokrat (7), NasDem (2) dan PBB (1) yang total jumlah anggota dewan di kubu ini 17 orang. Kubu berikutnya, terdapat PAN (7), PPP (7), PDI Perjuangan (6), Gerindra (5), Golkar (4), PKS (2) dan Hanura (2) yang jumlah totalnya mencapai 33 orang.
Faksi pertama, mengikuti pendidikan dan latihan di Surabaya, mengadaptasi kehendak pimpinan dewan sementara. Faksi kedua, menolak mengikuti pendidikan dan latihan. Ketidakikutan faksi kedua ini lantaran merasa diabaikan pendapatnya saat rapat dengar pendapat dengan pimpinan dewan sementara. Selain itu, pimpinan dewan sementara seharusnya mengutamakan kepentingan internal dewan seperti pembentukan fraksi, tatib, dan finalisasi pimpinan dewan definitif. Tetapi, pimpinan dewan sementara dianggap mengedepankan pendidikan dan latihan.
Alasan lainnya versi faksi kedua ini, karena pimpinan dewan, menampilkan sosok yang seolah-olah ketua DPRD definitif. Ini ditandai dengan pemakaian mobil dinas ketua DPRD, menempati rumah dinas ketua DPRD definitif, dan menderita kekejangan komunikasi politik. Prilaku politik ini dianggap tidak populer dan dinilai berpotensi melanggar kepatutan. Dari sinilah sebenarnya gonjang-ganjing republik dewan yang menyebabkan faksi berkembang biak secara monokotil. Local and social wisdom pantas diduga tidak dilaksanakan secara utuh oleh pimpinan dewan dan akhirnya buntu!
Seharusnya Berguru pada Serat Pamarayoga
Ranggawarsita dalam Serat Pamarayoga menghendaki pemimpin yang berwawasan luas, memiliki kearifan dan kawicaksanaan. Jati diri pemimpin merupakan dharma yang berat ke dalam banyak dimensi. Diantaranya, pemimpin harus hanguripi, melindungi, menghormati dan menjaga perdamaian sesuai etik dan norma-aturan. Sehingga timbul rasa percaya diri, untuk mencapai kehidupan yang layak. Kedua, hangrungnkebi, pemimpin harus berani berkorban demi kebersamaan. Ketiga, pemimpin harus hangruat,menjaga ketentraman.
Keempat, pemimpin punya jiwa hanata,menata bahwa pemimpin menghayati falsafah njunjung drajating praja, berdasarkan konsep nata lan mbangun praja, menegakkan kedisiplinan, kejujuran dan loyaldengan sasanti ing ngarsar sung tuladha, ing madya mangun karsa, tutwuri handayani; memberikan contoh, membangkitkan semangat kerja dan berwibawa di depan yang dipimpinnya. Kelima, hamengkoni,merajut agar persatuan dan kesatuan tetap terjaga. Keenam, hangayomi, memberikan perlindungan agar aman dan damai. Ketujuh, hangurubi, membangkitkan semangat kerja dan kedelapan, hamemayu, menjaga ketentraman, keselarasan dan keharmonisan berlandaskan saling percaya.
Berpijak pada laku pimpinan dewan sementara di DPRD Sumenep didukung dua kali rapat faksi kedua hingga dua hari (1 – 2/9), menegaskan anasir yang seharusnya dimiliki pimpinan dewan sementara kurang utuh. Khususnya dalam hal berguru pada Ranggawarsita melalui Serat Pamarayoga yang menggariskan delapan rambu-rambu untuk menjadi pemimpin yang bijak, atau setidak-tidaknya terlihat bijak, dan nampak seakan-akan bajik. TIM

Kredo Dewan Sunnah Politik
Terbelahnya faksi di internal dewan disikapi beragam oleh sejumlah anggota parlemen. Politisi PDI Perjuangan, Abrari misalnya, menilai terjadinya kredo di dalam gelanggang dianggap sebagai sunnah politik. Dia menganggap perbedaan cara pandang politisi dalam melihat satu persoalan merupakan hal wajar. Apalagi, pria yang akrab disapa Abe itu menilai anggota dewan juga manusia. Sebagai manusia, anggota dewan memiliki isi kepala yang tidak sama. Karena isinya tidak sama, maka yang keluar dari kepala berpotensi tidak sama dan hal itu terbukti dalam kredo politik di republik dewan.
Sebagai muallaf di dunia politik praktis, lulusan magister psikologi Untag 1945 Surabaya ini menganggap terbelahnya faksi sebagai dinamika politik. Pasti, dia begitu yakin ada hikmah yang jauh lebih besar dari kredo secara harfiah di parlemen. Pada sebagian pihak, ada sejumlah orang yang menilai dari sisi terbelahnya faksi saja. Inipun, dia nilai wajar karena semua bergantung kepada siapa yang memandang dan di posisi mana seseorang memandang persoalan. Jika cara melihat masalah dari sudut yang berbeda, sudah bisa dipastikan hasil amatannya tidak sama dengan pihak lain yang memotret persoalan dari sudut yang lain. “Kredo atau apapun namanya, ini hanya memontum introspeksi dan belajar menertawakan diri sendiri,” kata budayawan ini. OBET