Oleh: Moh. Hidayaturrahman*
Bila diperjelas, Pilkadal bisa disebutkan sebagai pemilihan kepala daerah (gubernur dan wakilnya, juga bupati/ walikota dan wakilnya) secara langsung oleh rakyat. Sedangkan Pilkader dimaksudkan sebagai pemilihan kepala daerah yang dilakukan oleh anggota dewan perwakilan rakyat daerah, baik propinsi untuk gubernur, maupun tingkat kabupaten/ kota untuk kabupaten/ walikota.
Beragam argumentasi dikemukakan untuk membela pilihan politik Pilkadal atau Pilkader itu tadi, mulai dari efisiensi anggaran, hingga tidak boleh dirampasnya hak politik warga negara untuk memilih setiap kepala daerah yang akan memimpin mereka.
Adapula yang beranggapan bahwa pelaksanaan Pilkadal membuat masyarakat semakin permisif dengan money politic (politik uang) dan membuat gesekan antara warga, birokrasi dan tokoh agama semakin melebar.
Dan beragam alasan saling mengemuka seiring dengan terjadinya prokontra soal Pilkadal atau Pilkader tadi. Antara yang mendukung Pilkada langsung oleh rakyat dan langsung oleh DPRD.
Dalam pandangan akal sehat, kedua pilihan apakah Pilkadal atau Pilkader, sama-sama langsung dan sama-sama tidak langsung. Sama-sama langsung oleh rakyat dan langsung oleh DPRD yang juga mewakili rakyat.
Keduanya, Pilkadal dan Pilkader juga sama-sama tidak langsung. Tidak langsung karena proses dari sejak awal bukan rakyat yang menentukan, namun ditentukan dan ditunjuk oleh para elit partai di berbagai tingkatan.
Apakah rakyat bisa mengecek secara terbuka bagaimana proses penentuan calon kepala daerah oleh elit partai. Tentu saja tidak pernah bisa. Karena hampir pasti, penentuan kandidat kepala daerah karena proses, lobi, negosiasi, dan konsesi.
Tidak perlu disoal, karena hal itu kemudian terbuka saat ada kepala daerah yang terkena kasus hukum, hampir selalu terkait dengan para elit partai pada berbagai level dan tingkatan. Dan perlu dicatat, hal tersebut hampir merata terjadi di seluruh partai yang ada.
Maka, berharap adanya perbaikan tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih di daerah dengan adanya RUU Pilkada, seperti pungguk merindukan bulan saja, selama para elit partai tidak terbuka dalam melakukan seleksi terhadap calon kepala daerah.
Atau setidaknya melibatkan publik dalam proses rekrutmen penentuan kepala daerah. Jadi publik tidak serta merta disodorkan nama-nama yang harus dipilih oleh rakyat, namun perlu ada jaring aspirasi dari partai politik terhadap publik mengenai calon kepala daerah. Atau yang paling simple dengan melibatkan lembaga survei untuk memotret persepsi publik terhadap calon kepala daerah yang diinginkan.
Potret persepsi publik itulah yang kemudian dijadikan acuan utama untuk menentukan calon kepala daerah yang akan diusung sebagai kandidat. Bukan karena faktor lain, seperti “mahar” atau istilah lain yang menunjukkan pada politik dagang sapi.
Dengan begitu esensi Pilkada langsung oleh rakyat atau langsung oleh DPRD dapat terpenuhi dengan baik. Jadi bukan hanya pertikaian dan retorika politik dan menjual nama rakyat untuk kepentingan kelompok dan gengsi para elit politik.
Bagaimana Dengan Pilkades?
Jika diamati sesungguhnya Indonesia paling maju dari segi demokrasi. Bagaimana tidak, untuk memilih kepala desa saja, atau kalau di negara lain level pemerintahan itu jauh di bawah distrik.
Di Indonesia kepala desa saja dipilih langsung oleh rakyat. Dalam perjalanannya, pemilihan kepala desa (Pilkades) banyak menyisakan persoalan, sama dengan persoalan yang dikemukakan untuk mengembalikan kepala daerah ke DPRD.
Bicara politik uang, di Pilkades itu terjadi begitu massif, dengan mekanisme tidak ada adanya pengawasan dan sanksi bagi kandidat yang melakukan. Bicara mengenai konflik horizontal di akar rumput, fakta membuktikan. Bicara polarisasi antarwarga seperti itulah yang terjadi.
Jadi jika ingin konsisten dengan pemilihan langsung oleh DPRD kalangan yang mendukung, perlu memikirkan juga persoalan Pilkades yang juga menjadi penyebab dari persoalan di akar rumput.
Jika tidak, maka RUU Pilkada yang sekarang dibahas, wajar jika dituduh sebagai agenda untuk konsolidasi menguasai kepala daerah, setelah gagal meraih kursi presiden dan wakil presiden. Dan yang menolak sekadar gengsi saja kalau kalah, tanpa memiliki good will untuk memperbaiki proses dan pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat, yang juga terjadi pada Pilkades secara langsung oleh rakyat.
*) Pengamat Kebijakan Publik tinggal di Madura