JAKARTA-Kesaksian Guru Besar hukum tata negara Universitas Indonesia Yusril Ihza Mahendra dalam sidang kasus dugaan korupsi proyek Hambalang dengan terdakwa Anas Urbaningrum meringankan terdakwa. Menurut Yusril, seseorang baru sah menyandang status penyelenggara negera setelah diambil sumpahnya.
Dalam dakwaan jaksa KPK, disebutkan Anas Urbaningrum dalam kapasitasnya sebagai penyelenggara negara diduga menerima gratifikasi sebuah mobil Harrier dengan nomor polisi B 15 AUD seharga Rp670 juta pada bulan September 2009.
Padahal Anas baru dilantik sebagai anggota DPR pada 1 Oktober 2009 dan mundur dari anggota DPR berdasarkan keputusan presiden pada 21 Agustus 2010.
“Tidak sama sekali, karena jelas kapan dia diangkat dan kapan diberhentikan, sesuai sumpah jabatan. Beda halnya kalau pemberhentian itu dilakukan jika seseorang sedang menjabat kemudian menerima suap,” jawab Yusril yang menjadi saksi ahli dalam sidang perkara penerimaan hadiah dari sejumlah proyek-proyek pemerintah dan tindak pidana pencucian uang dengan terdakwa mantan ketua umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum.
Namun dakwaan lain dari jaksa termasuk masa jabatan Anas sebagai penyelenggara negara yaitu dugaan menerima “fee” sebesar 7-20 persen dari Permai Grup yang berasal dari proyek-proyek yang didanai APBN dalam bentuk 1 unit mobil Toyota Vellfire seharga Rp735 juta, kegiatan survei pemenangan Rp478,6 juta dan uang Rp116,52 miliar dan 5,26 juta dolar AS.
Uang tersebut digunakan untuk membayar hotel-hotel tempat menginap para pendukung Anas saat kongres Partai Demokrat di Bandung, pembiayaan posko tim relawan pemenangan Anas, biaya pertemuan Dewan Pimpinan Cabang (DPC) dan Dewan Pimpinan Daerah (DPD) dan pemberian uang saku kepada DPC, uang operasional dan “entertainment”, biaya pertemuan tandingan dengan Andi Mallarangeng, road show Anas dan tim sukesesnya pada Maret-April 2010.
Selanjutnya uang juga digunakan untuk deklarasi pencalonan Anas sebagai calon ketua umum di Hotel Sultan, biaya “event organizer”, siaran langsung beberapa stasiun TV, pembelian telepon selular merek Blackberry, pembuatan iklan layanan masyarakat dan biaya komunikasi media.
Anas juga diduga melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU harta kekayaannya hingga mencapai Rp23,88 miliar.