PAMEKASAN – Meski kemelut di DPRD Pamekasan terkait adanya aturan khusus untuk beraudiensi sudah selesai, karena sudah dibatalkan atas desakan para aktivis, namun masih menyisakan hal yang menarik. Yaitu, sebenarnya aturan itu yang menyusun adalah Sekwan DPRD Pamekasan Bambang Prayogi, namun yang menandatangani adalah Ketua DPRD Pamekasan Halili.
Aturan itu tertandatangi pada awal Januari lalu, ketika masih keanggotaan DPRD Pamekasan periode 2009-2014. Tapi aturan itu baru disampaikan ke publik awal September ini, ketika keanggotaan DPRD sudah berganti yang baru (periode 2014-2019).
Hal ini sangat lucu di mata para aktivis. Mereka mempertanyakan jika aturan itu memang sudah ditandatangi sejak Januari, kenapa tidak langsung diberlakukan. Justru diberlakukan delapan bulan kemudian. Mereka kembali bertanya, mungkinkah itu memang disengaja agar para anggota dewan di DPRD ini sudah yang baru semua. Sehingga para anggota dewan yang baru itu menyangka aturan itu sudah ada sejak keanggotaan DPRD sebelumnya, dan mereka tidak bisa mengkritiknya.
Hal yang tak masuk akal lagi, sejak Januari hingga Agustus, banyak kegiatan audiensi yang terjadi sepanjang itu di DPRD, tapi tidak berlaku aturan itu. Padahal katanya aturan sudah berlaku sejak Januari. Dikatakan DPRD, terutama Sekwan dan Ketua DPRD plin-plan. Membuat aturan sendiri, tapi tidak konsisten diberlakukan. Malah diberlakukan setelah lama ditandatangani. Jika begitu, dalam rentan Januari-Agustus, para aktivis dan masyarakat yang menggelar audiensi dengan wakilnya di DPRD itu, menyalahi aturan semua. Jika mereka menyalahi aturan, lantas bagaimana keabsahan hasil dari audiensi-audiensi itu. Tanya para aktivis heran.
Salah satu aktivis Moh. Elman, justru menilai di sini adalah posisi Ketua DPRD Halili, yang lemah. Dia tidak tahu tupoksi dirinya sebagai Ketua DPRD, dan sebagai wakil rakyat. Bahkan Halili terkesan patuh kepada Sekwan. Padahal antara Ketua DPRD dan Sekwan itu berbeda. Lebih tinggi posisi Ketua DPRD. Namun di sini justru Ketua kalah sama Sekretarisnya. Di samping itu, Sekwan juga tak paham akan tupoksinya.
Menurut Elman, Sekwan tak memiliki wewenang untuk membuat aturan semacam itu.
Tugas Sekwan adalah mengatur ke dalam. Hanya terbatas di dalam lingkup dan lingkungan Sekretariat DPRD. Sekwan tidak berhak untuk mengatur ke luar. Karena, mengatur-atur audiensi masyarakat dengan Anggota DPRD ini, merupakan tugas ke luar. Jadi Sekwan salah. Sebaliknya, Halili, ketika disodori aturan itu dari Sekwan, langsung tanda tangan saja. Di sini, Halili, merupakan wakil rakyat, bahkan pemimpin dari para wakil rakyat (Ketua DPRD), tidak tahu hal itu. Padahal ini adalah sangat mendasar, untuk diketahui para wakil rakyat.
“Halili tidak becus. Ketua DPRD macam apa dia. Masak pemimpin legislatif seperti itu. Tidak tahu aturan. Turun saja dari Ketua DPRD, bahkan berhenti saja jadi wakil rakyat. Kami tak sudi punyai wakil semacam itu,” papar Elman, yang mantan Presma STAIN Pamekasan ini, kemarin (28/9).
Aktivis lainnya, Fendi Chufank menilai Halili, yang Ketua DPRD itu, kini telah patuh pada Sekwan Bambang Prayogi. Dia mempertanyakan hal ini. Bahkan dia menuding telah terjadi konspirasi dalam jajaran legislatif dan eksekutif. Fendi menyimpulkan jika ini sengaja dibuat untuk melindungi kakak Halili, yang kini menjabat Bupati Pamekasan Ahmad Syafii. Agar tidak banyak audiensi ke DPRD, dalam rangka mempertanyakan fungsi pengawasan DPRD terhadap eksekutif. Sebab, puncuk pimpinan legislatif dan eksekutif sudah diduduki dua bersaudara. Maka menurut mahasiswa UIM Pamekasan, sudah tidak mungkin objektif lagi.
Yang disayangkan Fendi lagi. Kenapa saat akan menandatangani aturan itu, Halili tidak menawarkan dulu kepada semua Anggota DPRD lainnya. Untuk dibahas dan dimusyawarahkan bersama. Apakah perlu atau tidak aturan semacam itu diberlakukan. Sebab persoalan ini, persoalan audiensi ini, terkait para wakil rakyat dengan para konstituennya. Konstituen 45 Anggota DPRD. Bukan konstituen Halili saja. Bahkan, dinilai jika aturan ini adalah bentuk pembungkaman suara publik, yang dilakukan oleh Ketua DPRD. Sebab dalam aturan itu jika ada kelompok masyarakat yang akan melakukan audiensi ke DPRD, harus menyertakan akta notaris pendirian lembaga kelompok masyarakat tersebut. Jika tidak memiliki akta notaris pendirian maka audiesi akan ditolak.
“Halili ini sudah menghalangi kebebasan berpendapat. Ini bentuk pelanggaran HAM. Bisa kami laporkan ke Komnas HAM. Untuk kami hidup di negara hukum, jika tidak sudah saya sobek mulut Halili dan saya potong tangannya,” ungkap Fendi.
Meski sudah gagal aturan ini diberlakukan, baik Halili dan Bambang sama-sama tidak mau dikatakan sebagai biang keladi dari kemelut ini. Pria yang akan kembali menjabat Ketua DPRD di periode sekarang ini mengatakan jika protap itu dibuat oleh Sekwan. Setelah dibuat kemudian diajukan ke dirinya dan dijelaskan maksud dari protap itu. Setelah tahu maksudnya, Halili lantas menandatanganinya. Alasannya, sebab dia menganggap bahwa protap itu bagus dalam rangka tertib admnistrasi.
“Jika ini dianggap memasung dan membatasi kebebasan berpendapat. Itu tidak benar. Demi Allah saya tidak ada niat sedikitpun dan sehelai benangpun untuk memasung aspirasi rakyat,” ujarnya.
Sementara Sekwan Bambang Prayogi, menerangkan tujuan pembuatan aturan itu agar setiap kelompok masyarakat maupun perorangan yang hendak menyampaikan aspirasinya bisa terdaftar dan tertib administrasi di Sekretariat DPRD Pamekasan. Maksud dia, siapapun yang mau audensi, harus beridentitas yang jelas. “Namun aturan itu sekarang sudah dicabut. Dan sudah tidak perlu dipermasalahkan lagi,” tukasnya.
SUKMA FIRDAUS/RAH