Oleh : Ribut Lupiyanto*
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 21 Agustus 2014 menjadi pertanda proses pemilu presiden (Pilpres) telah mencapai klimaks secara formal. Gugatan Prabowo-Hatta ditolak seluruhnya. Berarti Jokowi-JK dinyatakan menang dan akan melanjutkan pemerintahan SBY-Boediono.
Putusan MK bersifat final dan mengikat. Implikasi putusan tidak akan menimbulkan langkah hukum yang bisa membatalkan. Namun, implikasi politis diproyeksikan akan lebih kompleks dan semakin mendinamisasi konstelasi peta politik nasional. Konstelasi ini akan hadir secara kompleks di masa transisi sebelum Jokowi resmi dilantik.
Kronologi Putusan MK
Kubu Prabowo-Hatta sebelumnya mengajukan permohonan gugatan setebal 197 halaman. Dalil gugatan menyatakan Pilpres 2014 cacat hukum karena berbagai alasan. Salah satunya adalah perbedaan jumlah daftar pemilih tetap (DPT) faktual sebagaimana hasil rekapitulasi KPU pada 22 Juli 2014.
Prabowo-Hatta menduga KPU beserta jajarannya melanggar peraturan perundang-undangan terkait pilpres. MK diminta menyatakan batal dan tidak sah keputusan KPU Nomor 535/Kpts/KPU/2014 tentang Penetapan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara dan Hasil Pilpres 2014. Perolehan suara versi berkas gugatan, yakni Prabowo-Hatta dengan 67.139.153 suara dan pasangan Jokowi-JK dengan 66.435.124 suara.
Skenario putusan MK sebenarnya sudah dapat diprediksi berdasarkan Pasal 39 ayat (2) Peraturan MK No. 4 Tahun 2004 tentang Pedoman Beracara PHPU Presiden dan Wakil Presiden. Skenario pertama, permohonan tidak dapat diterima jika permohonan tidak memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu. Kedua, permohonan dikabulkan jika majelis MK berpendapat permohonan terbukti beralasan. Ketiga, permohonan ditolak jika majelis MK berpendapat permohonan tidak terbukti beralasan.
Anggraini (2014) mengatakan jika skenario putusan MK mengabulkan permohonan, maka akan muncul empat kemungkinan. Pertama, MK menetapkan hasil pemilu presiden sesuai permintaan pemohon. Kedua, MK memerintahkan pemungutan suara ulang secara nasional. Ketiga, MK memerintah penghitungan suara ulang. Keempat, MK memerintahkan pemungutan suara dan/atau penghitungan suara ulang di beberapa TPS.
Terkabulkannya permohonan tergantung pembuktian pemohon. Pemohon harus membuktikan telah terjadi kesalahan dalam penghitungan rekapitulasi suara dan pelanggaran terjadi secara terstruktur, sistematis dan masif. Hal ini yang dinilai hakim MK tidak bisa diberikan oleh pemohon, yaitu Prabowo-Hatta. Akhirnya, MK mengambil keputusan skenario ketiga, yaitu menolak permohonan.
Konstelasi Politik
Konstelasi politik diprediksi akan semakin dinamis dalam menyikapi putusan MK. Kondisi umum politik dapat kembali normal sebagaimana jauh hari sebelum pemilu. Kondisi bisa tetap tegang seperti sekarang hingga lima tahun mendatang. Bahkan kondisi dapat semakin keruh selama lima tahun ke depan.
Implikasi paling menonjol akan berimbas pada peta politik, khususnya konfigurasi koalisi partai politik. Pergeseran peta politik dapat terjadi melalui migrasi dukungan politik. Pascaputusan MK komunikasi politik berlangsung cair dan berbagai kemungkinan dapat terjadi. Soliditas koalisi sebelumnya belum ada jaminan berbentuk permanen. Potensi migrasi paling besar terjadi dari Koalisi Merah Putih ke Koalisi Jokowi-JK.
Kubu Koalisi Merah-Putih meskipun sudah mencanangkan kesepakatan permanen, tetap berpotensi berubah apalagi jika kalah di MK. Selama ini soliditas tinggi hanya ditunjukkan Partai Gerindra dan PKS, baik dari pusat hingga daerah.
Parpol lain menunjukkan terjadi friksi internal dan memungkinkan melakukan penyeberangan. Partai Golkar (PG) terkenal selalu mampu masuk dalam pemerintahan. Perubahan sikap PG berpotensi terjadi jika yang menjadi ketua umum bukan lagi Aburizal Bakrie. Partai Demokrat setali tiga uang dengan PG yaitu belum memiliki tradisi oposisi. Selanjutnya PAN juga belum terlihat loyalitas dan totalitas perjuangan meskipun ketua umumnya menjadi Cawapres. PPP sudah mulai ada wacana penggusuran kursi ketua umum sebagai jalan menyeberang dan tidak siap beroposisi.
Migrasi dukungan politik akan mengubah peta politik Indonesia. Fenomena ini dapat dikaji dari dua sudut pandang, yaitu parpol pelaku migrasi dan pihak penerima. Setiap parpol membutuhkan dukungan sumber daya demi menjalankan roda kepartaian dan menghadapi Pemilu 2019. Sudah menjadi rahasia umum bahwa semua itu akan mudah didapatkan jika masuk dalam lingkaran pemerintahan. Alasan ini yang menjadikan parpol berpikir seribu kali untuk beroposisi dan berpotensi memililih bermigrasi.
Sebaliknya, kubu penerima dalam hal ini Koalisi Jokowi-JK butuh tambahan dukungan politik secara formal. Hal ini demi memuluskan setiap kebijakan yang akan diambil pemerintahan Jokowi-JK. Sebagaimana diketahui Koalisi Jokowi-JK yang terdiri dari PDIP, PKB, Partai Nasdem, dan PKPI hanya memiliki 207 kursi parlemen atau 37 persen. Tambahan kursi dibutuhkan minimal untuk mendekati angka 50 persen.
Semua komponen bangsa mesti bijak menerima putusan MK. Pergeseran konstelasi politik penting dijalani dengan sikap kedewasaan berdemokrasi. Semua elemen bangsa memiliki tanggung jawab mewujudkan kondusivitas politik pasca-putusan MK hingga lima tahun ke depan.
*) Deputi Direktur C-PubliCA (Center for Public Capacity Acceleration) -Yogyakarta