Oleh : Abrari Alzael*
Saat purnama, di Jalan Maliboro Jogja, dua orang bersitegang karena satu hal; bulan di malam hari. Satu pihak menilai bola raksasa yang mengapung di angkasa adalah bulan. Pihak lainnya menganggap matahari, karena purnama bersinar di saat yang amat cerah. Dua orang ini mempertahankan diri dengan mengatakan dua hal yang berbeda pada satu benda yang dilihatnya, dan dua-duanya ngotot mengatakan matahari pada satu pihak dan bulan di pihak yang lain.
Setiap orang yang lewat, ditanya. Sebagian takut menjawab karena yang bertanya mabok. Ada yang menggeleng sambil buru-buru melintas dan ada pula yang menjawab tidak tahu. Ini disampaikan bukan untuk mengatakan tidak tahu dalam arti yang sesungguhnya, tetapi orang yang lewat takut. Lalu pada satu orang terakhir yang lewat, muncul jawaban yang tidak disangka. Ketika pemabok bertanya (dan memaksa) untuk mengatakan bulan atau matahari, orang terakhir ini santai bersikap sembari mengatakan, “Mohon maaf, saya orang baru di sini (Jogja).”
Dalam satu hal yang disikapi berbeda, akhirnya disebut kontroversi seperti RUU Pilkada saat ini. Satu pihak kepala daerah dipilih rakyat dan pihak lainnya menganggap lebih baik dipilih DPRD alasannya masing-masing, yang sama-sama rasional. Sampai kesimpulanya, dipilih rakyat langsung atau DPRD, dua-duanya tidak menjamin calon kepala daerah terpilih lebih baik.
Jika kepala daerah dipilih DPRD, pasti ini cara lama dan sudah ditinggalkan pasca reformasi dengan kelebihan dan kelemahannya. Begitu pula, memilih kepala daerah secara langsung, memiliki plus minus. Namun, ada sistem yang dilupakan untuk menarik kesadaran publik supaya sadar berdemokrasi. Dalam perjalanan politik yang mengamanatkan rakyat memilih secara langsung, demokrasi hidup. Begitu, korupsi juga hidup menyertai konsep pemilihan apapun. Rakyat pun, berani mengorupsi, jika korupsi dipahami sebagai penyalahgunaan kepercayaan. Lebih buruk lagi rakyat sangat senang bercerita tentang kesuksesannya menipu caleg maupun calon kepala daerah.
Jika benar-benar mau maju, pemilukada atau lainnya dipilih secara langsung biar rakyat merasa menjadi bagian dari SDM yang harus berpolitik (zoon politicon). Namun, regulasinya harus diperbarui dengan cara mewajibkan rakyat datang ke TPS untuk memilih, atau tidak memilih. Rakyat yang tidak hadir di TPS, wajib disanksi hukum tipiring atau bayar denda. Konsep penerapan helm pada pengendara motor sejauh ini sukses. Jika rakyat mau golput, itu bisa dilakukan di dalam bilik suara.
Dalam pemilu/pemilukada/pilpres saat ini, sebagian (besar) rakyat mengancam tidak datang ke TPS jika tidak diberi “sesuatu”. Sikap ini mencerminkan sebagian rakyat menjadi pemeras karena memiliki satu suara dengan cara deal politics dengan banyak calon beserta kompensasi sesuatu yang diterima. Oleh karena itu, menghadirkan rakyat ke TPS harus diatur yang apabila abai dikenakan sanksi sebagaimana di Thailand.
Selain mendidik kesadaran bernegara, cara ini mendidik supaya rakyat sadar bahwa dirinya bagian dari warga Indonesia yang wajib cinta tanah air. Harus diakui, sebagian besar rakyat Indonesia belum cinta tanah air dengan sikap pemilih pada pemilu yang seperti itu adanya. Keengganan mengibarkan merah putih saat bangsa merayakan kemerdekaan juga menjadi contoh kecil dari contoh besar lainnya yang sangat paradoks seperti anggapan kolektif bahwa mengambil uang negara dan merusak fasum yang dibiayai pemerintah sebagai pekerjaan halal. Bila anggapan ini menjalar secara massif, sampai kiamat pun, republik ini akan seperti ini atau lebih buruk dan mengerikan, pada akhirnya. (*)
*) Budayawan Madura