BANGKALAN – Keberadaan lagu-lagu daerah yang menjadi budaya Madura kini jarang lagi terdengar. Di sekolah-sekolah pun lagu daerah bukan lagi menjadi lagu wajib yang harus dinyanyikan oleh siswa. Padahal lagu daerah bisa mempengaruhi psikologis anak. Sebab lagu daerah banyak tersirat akan makna perjuangan, optimism, dan pesan moral. Tergesernya lagu daerah bisa berdampak pada hilangnya jati diri bangsa. Sebab pelestarian sedini mungkin kurang mendapatkan perhatian.
Awal permasalahan yang sering terjadi, sekolah jarang sekali mengajarkan materi lagu daerah sampai anak didik benar-benar bisa menghafal dan menyukai lagu-lagu daerah. Apalagi di tingkat SLTP, pada jenjang awal di tingkat sekolah dasar (SD) saja sudah jarang sekali diajarkan lagu kedaerah. Jika dibiarkan tentunya lama-lama lagu daerah bisa menjadi punah.
“Kita miris mendengarkan anak kecil yang tak lagi bisa menyanyi lagu daerah. Malah, anak kecil bisa hafal lagu-lagu orang dewasa yang itu tidak mengandung unsur pembelajaran terhadap siswa,” kata RM Hasansasra, Budayawan asal Bangkalan, kemarin (23/9).
Dirinya merasa prihatin dengan kondisi generasi muda belakangan terakhir, karena konsumsi yang tidak benar bisa mempengaruhi pola pikir anak. Apalagi, lagu-lagu yang dicerna oleh anak-anak melampaui batas, dari barometer psikis yang seharusnya dikonsumsi. Oleh karena itu, peranan sekolah sebagai tempat pendidikan juga harus bisa memberikan stimulan kepada anak agar mereka bisa lebih menerima lagu yang sesuai, seperti lagu-lagu daerah.
“Namanya anak-anak masih butuh bimbingan. Orang dewasa lebih menentukan sikap anak, mereka harus bisa memfilter kebutuhan anak mereka agar bisa mendengarkan sesuatu yang mengajak pada pesan moral yang baik,” terangnya.
Pemerhati budaya Madura ini menilai, banyak lagu daerah yang berasal dari Madura yang cocok dikonsumsi anak kecil. Dengan lagu-lagu tersebut bisa membawa kearifan lokal bagi masyarakat. Seperti lagu Madura yang mengisyaratkan panorama keindahan pulau Madura ‘Paseser Epenggir Sereng’.
“Ada juga lagu Madura yang menunjukkan etos kerja masyarakat Madura, seperti ‘Tanduk Majang’ dan ‘Pajjer Laggu’. Selain itu masih banyak lagu yang bernuansa kedaerahan, semua harus diajarkan kepada generasi muda,” ungkapnya.
Belum tahunya generasi muda lantaran lagu daerah kurang diperkenalkan sedini mungkin. Akibatnya, pola pikir anak berkembang tidak sesuai kadarnya. Jika anak-anak dahulu lebih menghargai perjuangan dan nilai moral, justru anak masa kini lebih tertarik terhadap perkembangan budaya luar. Kalau itu tidak terfilter dengan benar, pengaruhnya malah bisa kepada hal negatif. Itu yang perlu diantisipasi.
“Memperkenalkan kepada anak sedini mungkin, bisa membantu mereka dalam melestarikan budaya bangsa. Cara yang bisa dilakukan dengan menekan sekolah-sekolah yang ada, seperti perkembangan sekolah lalu yang selalu menyisipkan lagu-lagu daerah dalam materi pembelajaran, serta lomba di tingkat nasional,” terangnya.
“Saya berharap lagu-lagu daerah bisa diperkenalkan kembali. Para guru harus bisa menuntun anak didiknya untuk kembali mencintai lagu kedaerahan,” harapnya.
Dirinya pun mengaku bukan anti budaya dari luar, namun budaya yang datang harus bisa disaring agar tidak mengganggu perkembangan pola pikir anak. Sebab, tidak semua budaya yang masuk dari luar adalah jelek. Perkembangan budaya dari luar lambat laun tidak akan terbendung, jika tidak dipilah dan dipilih dengan baik. Setiap budaya yang masuk harus bersinergi dengan kearifan lokal masyarakat setempat.
“Bisa saja lagu luar yang masuk, asal membawa pesan keagamaan dan pendidikan. Oleh karena itu, bagi dinas pendidikan agar lebih menginventarisir lagu-lagu daerah, mumpung orang sepuh dan guru-guru sepuh masih ada. Kemudian, itu didokumentasi dan diajarkan kembali ke sekolah. Selanjutnya, usaha itu supaya tidak layu sebelum berkembang, dalam even-even tertentu dilombakan,” paparnya. MOH RIDWAN/RAH