Oleh: Ribut Lupiyanto*
Hasil Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 sudah final pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 21 Agustus 2014. MK memutuskan menolak seluruh gugatan kubu Prabowo-Hatta. Dalin permohonan gugatan dinyatakan tidak dapat dibuktikan. Artinya, Jokowi-JK ditetapkan sebagai pemenang Pilpres 2014.
Pilpres 2014 dirasakan semua pihak menjadi pilpres paling panas pasca-reformasi. Konsestan yang hanya dua pasangan telah menyebabkan munculnya gesekan dan polarisasi yang ekstrim antar kubu dan pendukungnya.
Perang opini dan sosialisasi peta dukungan terus menghiasi media massa selama pilpres. Sayangnya, dinamika tersebut terasa masih miskin dari adu gagasan sebagai esensi demokrasi. Fenomena yang terjadi justru praktik kotor yang menodai dan menyebabkan degradasi kualitas demokrasi, misalnya kampanye hitam (black campaign). Kampanye hitam sebagian besar diawali dan didasari oleh gosip-gosip politik.
Gosip Politik
Gosip politik adalah wajar dan niscaya dalam dinamika pesta demokrasi. Kahlil Gibran dalam puisinya berujar “Jika engkau mengabarkan rahasiamu kepada burung, jangan salahkan burung jika berkicau kepada angin. Dan angin menghembuskannya ke seluruh dunia“. Stein (dalam Arianto, 2014) menyebut gosip politik sebagai grapevine. Grapevine dimaknai sebagai metode pemberian laporan rahasia dari orang ke orang yang tidak dapat diperoleh melalui saluran biasa, karena isi pesan grapevine senantiasa diwacanakan ke publik melalui komunikasi informal (face to face communication).
Gosip politik tidak hadir baru saja. Pada zaman Majapahit dan Mataram sudah ada orang-orang yang dibayar khusus oleh istana untuk menghembuskan kabar-kabar tertentu, guna mempengaruhi alam pikir rakyat. Pujangga, brahmana, penyair, atau sekedar kecu dan telik sandi (informen, intelejen), adalah para pengabdi penguasa untuk menyerap atau justru menghembuskan kabar-kabar tertentu.
Gosip politik era kini semakin cepat menarik perhatian publik seiring kemajuan teknologi komunikasi dan informasi. Futurolog, John Naisbitt dalam bukunya Megatrends 2000 menyatakan siapa yang menguasai informasi dan komunikasi dipastikan akan menguasai dunia.
Pola pergerakan gosip politik dapat dipahami melalui kajian komunikasi massa (Biaro, 2012). Pertama, pertarungan politik terkunci pada soal persepsi. Persepsi menyingkirkan faktor-faktor lain, seperti kebenaran, faktualitas, dan validitas. Kedua, gosip akan menggelembung dalam kontestasi politik, karena memang direproduksi secara sistematis, intensif, dan dalam kemasan sebaik-baiknya. Ketiga, melekat dalam identitas gosip itu sendiri yang senantiasa blur (samar). Rekayasa gosip politik adalah senjata multi fungsi yang berguna untuk menutupi, mengelabuhi, dan mengalihkan.
Diantara dua kubu kontestan tidak ada yang kebal gosip politik. Semua terkena serangan gosip dengan bervariasi bentuk dan ketajamannya. Mayoritas gosip politik mengarah ke calon presiden (capres), baik Jokowi atau Prabowo.
Jokowi terkena badai gosip seputar pencitraan mobil Esemka, capres boneka, keturunan Tionghoa, terlahir non muslim, dicukongi konglomerat besar, pernah diusir Puan, menerima 10 Trilyun sebagai mahar Jusuf Kalla, dan banyak lagi. Kajian Indonesia Indicator (2014) menyebutkan empat bulan terakhir jumlah ekspose pemberitaan berkenaan dengan gosip Jokowi mencapai angka 1.515 berita.
Prabowo tidak kalah banyak diterpa gelombang gosip. Misalnya dugaan kewarganegaraan ganda, hutang perusahaan Prabowo Rp14,3 Triliun dan gaji pekerjanya 5 bulan belum dibayar,tuduhan penghilangan paksa aktivis 1998, penyiksaan pejuang prokemerdekaan di Timor Timur, dan lainnya. Prabowo mendapat sorotan pemberitaan negatif sejumlah 743 berita(Indonesia Indicator, 2014).
Saling serang gosip bahkan tidak berhenti sampai pengumuman KPU. Hingga kini gosip politik masih berseliweran di tengah-tengah dinamika politik nasional. Hal yang dikhawatirkan adalah terus berlangsungnya perang gosip politik hingga lima tahun ke depan.
Darurat Demokrasi
Perang gosip politik memuncak dalam Pilpres 2014 ini. Atas kondisi ini, demokrasi Indonesia mengalami kondisi darurat. Gosip politik yang terbiarkan dan justru dimanfaatkan akan menjadi bola panas yang merusak iklim kompetisi demokrasi. Semua pihak penting melakukan refleksi terkait fenomena perang gosip politik demi perbaikan di masa mendatang.
Pertama, bagi elit politik penting untuk menetralisasi hadirnya gosip politik. Parpol dan politisi mesti memberikan pendidikan politik bagi tim sukses maupun pendukungnya dalam hal etika komunikasi dan strategi pemenangan. Gosip politik apalagi kampanye hitam jangan justru dimasukkan sebagai strategi kontestasi demokrasi.
Kedua, bagi pengamat dan media penting tidak melakukan provokasi dan tidak memberikan informasi tanpa validitas. Setiap informasi meskipun menarik mesti didalami melalui investigasi jurnalistik. Sosialisasi visi dan misi justru lebih penting untuk dikritisi dan didiskusi dalam ruang-ruang jurnalisme media.
Ketiga, bagi publik penting mencerna secara cermat dan bijak terhadap setiap informasi yang datang. Penyakit era virtual seperti sekarang adalah mudah menyebarkan berita melulai forward, retweet, atau copy paste. Publik penting melakukan penyaringan informasi melalui perbandingan ke berbagai sumber, konfirmasi terhadap subyek informasi, atau lainnya.
Hadirnya gosip politik hingga kampanye hitam dapat menjadi batu sandungan dan bom waktu bagi degradasi demokrasi. Gosip politik tidak memiliki peran berarti dalam kontestasi demokrasi. Sebaliknya justru dapat menjadi bumerang yang akan menggerogoti dukungan publik. Semoga gosip politik akan terminimalisasi ke depan dalam perjalanan demokrasi bangsa Indonesia.
*) Deputi Direktur C-PubliCA (Center for Public Capacity Acceleration) -Yogyakarta