Oleh: Eko Prasetyo*
Dalam sebuah seminar pengajaran sastra Indonesia di sekolah lanjutan yang diadakan Dewan Kesenian Surabaya (DKS), budayawan Budi Darma pernah mengutip suatu ejekan Paul Theroux. Yakni, Indonesia adalah republik tanpa sastra. Sastra terpencil dari sebagian manusia Indonesia.
Hal ini dapat dipahami bahwa bahan bacaan sastra yang diajarkan di sekolah-sekolah masih minim bila dibandingkan dengan topan kemajuan teknik dan pembangunan dewasa ini. Selain kurang materi dan cara mengajarnya yang terbatas pada pemberitahuan, yang juga dirisaukan adalah pengajar dan yang diajar. Pengajar yang tidak cinta sastra dan buta sastra jelas bikin mawut. Pengajar yang tidak mengikuti perkembangan sastra mutakhir akan membesar-besarkan masa lampau seperti pada zaman ketika dia menerima pelajaran sastra -mungkin akan menganggap Angkatan ’45 sebagai puncak kejayaan sastra Indonesia- bakal membimbing murid ke arah yang terkotak-kotak.
Mereka yang menerima ajaran seperti itu semua (baik bahan, cara, dan sikap pengajarnya) tidak banyak mengambil manfaatnya. Mereka dibuat mengerti akan sastra hanya untuk lulus ujian. Mendapatkan ijazah inilah yang penting untuk bekal cari kerja atau menaikkan gaji. Setelah dapat ijazah, sastra akan menjadi benda asing dan jauh dari dirinya.
Tradisi Keberaksaraan
Kondisi seperti ini tentu menjadi masalah tersendiri. Nah, tantangan Indonesia ke depan adalah mengubah dirinya dari masyarakat yang terkungkung oleh tradisi kelisanan menjadi masyarakat bertradisi keberaksaraan (literacy). Masyarakat bertradisi keberaksaraan (sastrawi) adalah masyarakat yang mau membaca buku dan berpikir kritis bukan hanya terhadap kebohongan, kekeliruan, atau kemunafikan orang lain, tetapi juga terhadap dirinya sendiri. Artinya, cerdas dan jujur.
Hidup sastrawi yang dimaksud tidak hanya mengandalkan kepekaan indrawi, tapi juga berbudaya membaca dan menulis buku sebagai kiat hidupnya. Menurut Suparto Brata, budaya membaca dan menulis buku harus dilatih, diajar, dan dibiasakan.
Hasil riset Taufiq Ismail pada 1996 menyatakan bahwa para lulusan SMA di Jerman rata-rata telah membaca 32 judul buku, anak di Belanda 30 buku, anak Rusia 12 buku, anak Jepang 15 buku, anak Singapura 6 buku, anak Malaysia 6 buku, anak Brunei Darussalam 7 buku, sedangkan anak Indonesia 0 buku. Jika merujuk hasil riset itu relevansinya dengan kondisi riil pelajar SMA lulus ujian nasional membaca 0 buku!
Hal ini disebabkan mereka tidak memiliki budaya literasi. Sebab, pola pendidikan di Indonesia tidak memberi kesempatan untuk membudayakan putra dan putri bangsa ini membaca dan menulis buku.
Sastrawan Suparto Brata mengatakan, membaca buku itu jalan mengubah takdir dan menjadikan nurani lebih bijak. Dengan keras ia mengatakan bahwa kini sudah terbukti sekarang kian banyak orang Indonesia yang tidak cerdas, tidak jujur, suka menyalahkan orang lain, munafik, mudah bertindak beringas, dan membuat onar, hiperkritis berbalut fitnah yang mengakibatkan banyak fenomena pembunuhan karakter. Kasus korupsi semakin merajalela, demikian pula perilaku suap.
Budaya Literasi
Budaya literasi di lingkungan pendidikan menjadi semakin sulit ditumbuhkan karena sistem pendidikan yang ada saat ini bisa dikatakan belum mendukungnya. Sebagai gambaran, setelah menempuh pendidikan selama 12 tahun di tingkat dasar, tiga tahun di sekolah menengah pertama, dan tiga tahun di sekolah menengah atas, parameter yang digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan siswa adalah ujian nasional.
Hal ini menjadi bumerang tersendiri. Sebab, ketika menginjak kelas 3 SMP atau kelas 3 SMA, siswa lebih banyak di-drill untuk belajar mata pelajaran yang diunaskan. Mereka diperlakukan seperti robot yang di-setting untuk mampu menjawab soal-soal ujian. Kendatipun banyak yang lulus ujian, hal ini belum dapat disebut sebagai sebuah keberhasilan.
Banyak yang sebutannya saja lulus, namun kenyataannya sebetulnya gagal. Para siswa ini menyelesaikan studi semata-mata karena kita terpaksa menaikkan dan meluluskan mereka, tidak peduli apakah mereka memahami segala sesuatu yang diajarkan atau tidak. Sebenarnya, terdapat lebih banyak lagi siswa seperti demikian dari yang kita bayangkan. Di sisi lain, kurikulum kita belum memberikan tempat yang istimewa bagi pentingnya membangun budaya literasi, yakni membaca dan menulis.
Gambaran ini semakin menegaskan ejekan Paul Theroux yang dikutip Budi Darma tadi. Sastra yang notabene menjadi salah satu pilar literasi hanya dijadikan sebagai pemanis, belum mendapat porsi yang semestinya untuk mengangkat budaya keberaksaraan di tanah air.
Produk Literasi
Perayaan HUT kemerdekaan RI yang baru berlalu kiranya menjadi momen yang tepat untuk berkontemplasi kembali dalam memaknai perjuangan. Negara ini tidak dibangun dari kemerdekaan yang diberikan oleh penjajahnya sebagaimana negeri jiran seperti Malaysia dan Singapura. Kemerdekaan bangsa ini digapai dengan tetesan darah, harta, dan pengorbanan para pahlawan.
Maka, sudah selayaknya kita mewarisi jiwa kepahlawanan mereka. Caranya tentu saja tidak dengan mengangkat senjata. Sebab, musuh kita saat ini bukan lagi penjajah asing, tetapi kemiskinan dan kebodohan. Untuk itu, salah satu jalan yang bisa ditempuh adalah memajukan budaya keberaksaraan bangsa Indonesia. Kita bisa memberikan penghormatan tertinggi bagi para pahlawan kita dengan cara mengabadikan perjuangan mereka lewat produk literasi seperti buku agar jiwa kepahlawan itu tetap abadi dan terus diwarisi generasi mendatang.
*) Mahasiswa Pascasarjana Unitomo Surabaya