Cerpen Al Mahfud*
Di sini, tidak ada yang tidak tercatat. Semuanya diabadikan dalam tulisan. Tulisan ada di mana-mana. Di dalam gedung pemerintah sampai di pinggir-pinggir jalan, semuanya dipenuhi dengan tulisan. Dalam kertas-kertas, buku-buku, koran-koran, majalah-majalah, dokumen-dokumen, surat-surat, dan segala jenis tulisan dalam bentuk lembaran-lembaran kertas lainnya.
Pemerintah telah menggalakkan diadakannya penulisan besar-besaran. Disekolah, pelajaran menulis diwajibkan setiap hari. Jadi, dalam satu hari, harus ada pelajaran menulis! Semua jenjang, mulai dari Taman Kanak-kanak, SD, SMP, SMA, bahkan sampai di Perguruan Tinggi. Semua jurusan di Perguruan Tinggi harus menyertakan mata kuliah “Menulis” setiap semester. Tak lupa, para penulis yang sudah profesional diminta untuk aktif mengadakan pelatihan menulis kepada anak-anak muda di berbagai daerah. Wartawan menjadi pekerjaan paling diminati. Pemerintah yang menggaji penuh para wartawan.
Surat kabar harus terbit sebanyak-banyaknya. Tiap Kabupaten atau daerah harus punya surat kabar masing-masing. Penerbitan surat kabar dilakukan besar-besaran. Dan surat kabar diobral dengan harga yang begitu rendah, bahkan seorang pengemis sudah biasa membeli koran setiap hari.
Begitu juga dengan penerbitan buku. Buku-buku diterbitkan secara masal. Setiap hari ada ratusan buku yang terbit. Segala jenis buku diterbitkan. Sebagian besar adalah buku-buku tentang tulis-menulis itu sendiri, yang memang sedang digalakkan pemerintah. Bagaimana menulis yang baik, tips agar produktif menghasilkan tulisan, sampai pada cara mengatasi kebosanan ketika menulis.
Untuk memenuhi kebutuhan kertas yang diperkirakan semakin besar ke depan, pemerintah memutuskan untuk mengimpor besar-besaran bahan kertas dari luar. Begitu juga dengan tinta, mesin printer, dan komputer. Semua itu diimpor masal untuk memenuhi kebutuhan percetakan negara. Pemerintah terus meningkatkan produksi tulisan-tulisannya.
Alhasil, masyarakat di seluruh penjuru negeri sudah terbiasa dengan membaca. Petani sudah biasa berangkat ke sawah dengan menenteng buku, surat kabar, atau majalah. Begitu juga dengan para pedagang di pasar-pasar. Di sela-sela transaksi dengan pembeli, mereka selalu membaca. Di warung-warung pinggir jalan, orang-orang menyantap hidangan dengan tetap membaca. Di rumah-rumah, ibu-ibu menyapu lantai dengan menenteng majalah dan buku. Anak-anak kecil bermain di halaman rumah dengan membawa buku.
Namun, pemerintah masih belum puas sampai disitu. Hingga suatu ketika diputuskan bahwa setiap warga negara yang sudah bisa baca-tulis, harus menulis. Jadi sekarang kegiatan menulis dilakukan oleh semua orang. Tidak hanya membaca, mereka juga diwajibkan untuk menulis.
Setiap hari, setiap warga harus menghasilkan tulisan tentang pengalamannya seharian. Setiap sore, tulisan-tulisan itu dikumpulkan di rumah ketua RT masing-masing. Setiap hari Minggu, masing-masing ketua RT harus menyetorkan tulisan warganya kepada Pak Kades. Dan, setiap sebulan sekali, Kepala Desa harus menyerahkan naskah tulisan warga desanya kepada Kecamatan.
Di Kecamatan ini, makin lama naskah-naskah itu menumpuk bagai gunung kertas karena di dalam ruangan sudah penuh oleh tumpukan naskah juga. Para pegawai Kecamatan yang bekerja harus berdesakan dengan kertas-kertas itu setiap hari. Setiap tiga bulan, truk-truk besar datang untuk mengangkut naskah-naskah itu menuju Kota Kabupaten.
Semakin lama, tulisan-tulisan di negeri itu semakin membludak. Di kantor-kantor Kecamatan dan kantor-kantor Kabupaten, naskah-naskah tulisan warga itu menggunung dan berserakan di mana-mana. Sampai ke pinggir-pinggir jalan. Meskipun sudah ada petugas khusus yang ditunjuk untuk mengatur naskah-naskah itu agar tetap tertata rapi, tetapi masih ada saja naskah-naskah yang berserakan, tercecer di jalan-jalan. Truk-truk besar terus datang dari berbagai Kecamatan juga semakin menyibukkan petugas disana.
Tulisan-tulisan para petani, ibu rumah tangga, anak-anak sekolah, mahasiswa, sampai para pejabat telah tercecer di sembarang tempat. Belum lagi koran-koran, majalah, dan buku-buku yang terus saja terbit setiap hari. Ini menjadikan lingkungan di berbagai tempat dipenuhi dengan kertas-kertas. Di jalan-jalan, di pasar-pasar, di sekolah-sekolah, di depan rumah, semua berserakan kertas-kertas naskah itu.
Namun anehnya, masyarakat seakan tidak merasa terganggu dengan hal itu. Justru mereka merasa senang, karena bisa membaca dimana saja. Tidak perlu berjalan jauh-jauh, di depan rumah mereka masing-masing sudah ada kertas-kertas naskah yang bisa dipungut dan dibaca. Mereka tidak perlu membeli buku atau koran lagi sekarang. Namun itu tidak menurunkan produksi buku dan koran. Koran-koran terus dicetak. Buku-buku terus diterbitkan. Warga juga terus menulis dan menyetorkan kepada ketua RT setiap sore.
Di toko-toko buku, buku-buku terus menggunung. Terus datang setiap hari. Meskipun semakin sepi dengan pembeli, namun tidak menurunkan penyetoran ke toko-toko buku. Seakan tidak khawatiran jika tidak laku.
Kertas-kertas impor terus berdatangan. Kardus-kardus besar itu menumpuk di bandara, di pelabuhan. Mesin-mesin cetak terus berdecit mengeluarkan naskah-naskahnya tiada henti. Tangan-tangan wartawan, tangan-tangan warga, tangan-tangan mahasiswa, tangan-tangan pejabat, semua tangan terus bergerak dengan gesit di tombol-tombol keyboard, terus mengetik kata-kata, terus menyusun kalimat-kalimat, terus membentuk paragraf-paragraf, terus membuat tulisan-tulisan. Mesin-mesin printer masih terus bergetar setiap saat, memuntahkan naskah-naskah dalam kertas. Setiap hari, setiap jam, setiap menit, setiap detik.
Orang-orang terus membaca, berfikir, dan menulisnya. Membaca, berfikir, dan menulisanya lagi. Membaca lagi, berfikir lagi, dan menulis lagi. Naskah-naskah semakin membludak tak terbendung. Terus datang dari berbagai arah. Kantor-kantor Kecamatan sudah penuh sesak oleh tumpukan kertas. Kantor-kantor Kabupaten sudah tak mampu menampung naskah-naskah itu lagi.
Orang-orang sudah jarang bekerja. Para petani sudah jarang ke sawah, mereka memilih dirumah dan menulis. Para pedagang sudah semakin berkurang, mereka juga lebih memilih di rumah dan menulis. Orang-orang menjadi jarang keluar rumah. Jalanan menjadi sepi. Hanya satu-dua kendaraan melintas. Itu pun adalah kendaraan seorang loper koran yang terlihat selalu sibuk. Selebihnya adalah truk-truk besar pengangkut kertas, pengangkut buku, pengangkut naskah.
Orang-orang seperti ketagihan untuk menulis. Mereka merasa memiliki kehidupan sendiri melalui kata-kata dalam tulisannya itu. Kehidupan nyata seperti sudah tidak menarik lagi bagi mereka. Mereka hanya membaca, berfikir, kemudian menulis. Terus membaca, terus berfikir, dan terus menulis.
Seharian penuh pandangan mereka seakan hanya ada di layar komputer. Mereka hanya berhenti jika dalam keadaaan begitu mendesak. Sekedar buang air ke belakang atau membeli makanan ketika merasakan lapar. Selebihnya, membaca, berfikir, dan menulis.
Kian hari, mereka semakin kurang tidur. Mereka menulis sampai larut malam. Bahkan beberapa orang merasakan kepuasan tersendiri ketika bisa menulis dari pagi hingga pagi lagi. Tertidur di depan komputer berbantal keyboard, adalah suatu kepuasan yang tak tergantikan baginya.
Orang-orang menjadi semakin jarang makan. Dengan menulis, mereka seperti sudah tidak merasakan lapar lagi. Mereka juga tidak merasakan haus. Barisan kata-kata itu seakan menjelma air yang mengalir segar dalam pikiran dan menghilangkan dahaga. Jari-jari tangan yang begitu terampil terus mengacak-acak keyboard. Kata-kata semakin banyak, kalimat-kalimat semakin sambung, paragraf-paragraf terus bertumpukan. Kertas-kertas semakin bertebaran di sekitar rumah. Sekarang mereka tidak bisa menyetornya lagi kepada ketua RT. Rumah Kepala Desa sudah penuh naskah. Begitu juga di Kecamatan. Sudah penuh, sesak, sempit.
Di negeri itu, orang-orang semakin tidak merasa memiliki kegiatan lain selain membaca, berfikir, dan menulis. Kehidupan juga semakin tidak nampak, kecuali dalam hal penulisan, percetakan, pendistribusian naskah, buku, surat kabar, dan segala tentang tulisan, tentang kertas, tentang naskah.
*
Hingga suatu ketika, seorang pelajar dari negeri lain berkunjung ke negeri itu. Ia mendengar dari sebuah berita di internet jika di negeri itu, semua warganya setiap hari menulis. Ia juga mendengar tentang impor kertas besar-besaran yang dilakukan negeri itu. Ia penasaran untuk melihatnya langsung. Mungkin akan menjadi menarik untuk diteliti.
Setelah melalui perjalanan udara sekitar lima jam, akhirnya pesawat yang ia tumpangi mendarat di sebuah bandara di negeri itu. Ketika menginjakkan kakinya di bandara, ia langsung tercengang. Pandangannya dipenuhi dengan tumpukan naskah yang tercecer di segala penjuru. Semua yang terlihat hanya hamparan tumpukan kertas. Sepi. Jarang sekali ia melihat orang di bandara itu. Hanya tumpukan kertas dimana-mana.
Sebelum melangkahkan kakinya, ia tertarik untuk memungut secarik kertas diantara tumpukan kertas-kertas di sekeliling kakinya. Pelajar itu semakin tercengang ketika melihat tulisan yang ada dalam kertas itu, ‘;%2;h#je.t,’%h^’/- Penasaran, ia memungut secarik kertas lagi, kemudian ia melihatnya, .s;%’;lh#j[p’gg^*gy. Sama. Ia mencoba lagi mengambil kertas yang lain, /l,.2#$%%’l’ Sama. Seperti simbol-simbol yang aneh. Tidak dapat dibaca. Tubuhnya bergetar. Darahnya berdesir. Ia merasa seperti baru saja tiba di planet elien yang entah.
*) Penulis lahir di Pati, bergiat di komunitas Sastra Qov Kudus