JAKARTA-Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) akan menghadapi tantangan ekonomi dan politik yang sangat berat di masa yang akan datang. Ini terjadi karena mayoritas kursi parlemen dikuasai Koalisi Merah Putih (KMP).” Tentu akan terjadi pertarungan sengit. Sekali lagi ketangguhan lobi dan negosiasi politik Jokowi-JK akan diuji dalam menjalankan pemerintahannya,” kata Pengajar ilmu politik FISIP Universitas Indonesia, Panji Anugrah Permana, di Jakarta, Sabtu (30/).
Menurut Panji, pemerintahan Jokowi-JK tidak perlu gentar menghadapi KMP ini. Sebab, mereka bisa memanfaatkan relawan untuk mengkapitalisasi isu-isu yang berkembang di tengah masyarakat jika gagal menarik hati anggota KMP. “Kalau koalisi merah putih solid dan kompak, maka Jokowi-JK dipastikan akan menghadapi kesulitan dalam menjalankan program-program pemerintahannya. Bukan tidak mungkin DPR RI bisa menghambat atau deadlock, maka pemerintah tak bisa bergerak. Maka disitulah ketangguhan lobi koalisi Jokowi-JK diuji,” paparnya.
Disisi laih, Panji juga menyoroti perkembangan politik hasil Pileg dan Pilpres 2014 ini sangat mengkhawatirkan. Dalam Pileg 9 April 2014 itu ada kecenderungan sekitar 13 % elit lokak berimigrasi ke pusat (DPR RI). Para elit ini terdiri dari keluarga elit partai, pejabat, dan pengusaha. “Kalau imigrasi elit lokal ke pusat itu terus dibiarkan dan ada kecenderungan untuk mengamankan elit lokal yang juga kerabatnya, maka wajah DPR RI ke depan akan makin buruk,” ungkapnya
Dikatannya, tokoh dan figur dan populer termasuk artis juga terkalahkan. Itu akan berimplikasi pada fungsi dan tugas di DPR RI. “Akan lebih buruk lagi, kalau DPR RI koalisi merah putih (KMP) 53 % itu solid berhadapan dengan 37 % DPR RI koalisi Jokowi-JK, maka dinamika politiknya akan sama buruknya,” ucapnya.
Diakui Panji, kader partai yang terpilih masih 60 % dan 42 % incumbent yang terpilih kembali ternyata latarbelakang atau background-nya tidak jelas. “Semua itu akibat proses rekrutmen kader oleh partai buruk dan penyelenggaraan pemilu juga buruk, sehingga wajah DPR dan DPD seperti apa yang akan muncul, bisa idketahui dari proses pemilu itu sendiri,” ujarnya.
Karena itu sistem pemilu harus dibenahi baik partai maupun penyelenggara pemilu. Misalnya sistem dari proporsional terbuka ke proporsional tertutup. Semula proporsional terbuka itu untuk mendekatkan caleg dengan konstituen, namun faktanya yang terjadi, makin merejalelanya atau brutalnya politik uang, kecurangan, dan jual-beli suara. “Jadi, apa yang dilakukan dalam pemilu di Barat itu tidak serta-merta diterapkan di Indonesia, karena kondisi masyarakat kita belum siap,” pungkasnya. GAM/ABD