Oleh : Hazwan Iskandar Jaya*
Wacana pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah dikembalikan menjadi wewenang anggota DPRD, tentu harus dilihat sebagai sebuah motif politik kepentingan tertentu. Sejak paket Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dipecah menjadi beberapa Undang-Undang, termasuk Rancangan Undang-Undang Pemilukada yang mengatur proses pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah, DPR nyaris sepakat untuk dilakukan dengan cara pemilihan langsung.
Proses politik terus berjalan seiring berlangsungnya Pemilu 2014 lalu. Ada bagian fragmen politik yang kemudian menjadi trigger sebagian besar Fraksi DPR RI berbalik arah untuk melaksanakan pemilukada lewat lembaga perwakilan, yaitu DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Motif politik ini dapat dibaca sebagai imbas dari kekalahan pihak Koalisi Merah Putih yang mengusung Calon Presiden dan Wakil Presiden, Prabowo Subianto dan M Hatta Rajasa.
Seperti diketahui, pemilihan kepala daerah agar dipilih oleh DPRD getol disuarakan oleh partai yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih. Seperti Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Demokrat, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Koalisi Merah Putih berambisi dengan pemilihan kepala daerah dipilih oleh DPRD, maka gabungan koalisi mereka dapat menyapu habis pemilihan kepala-kepala daerah di seluruh Indonesia.
Koalisi Merah Putih tentu ingin menunjukkan “taring” politiknya, bahwa mereka masih dapat berbuat lebih untuk menumpaskan hasrat berkuasanya. Sebelum ini, Undang-Undang 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD merupakan produk mutakhir DPR yang dianggap tidak respek pada kepentingan umum. Dan hanya mementingkan kelompok koalisi yang terbentuk dengan sarat syahwat kekuasaan itu.
Pemilukada Demokratis
Demokrasi sebagai sebuah system politik mensyaratkan adanya legitimasi yang kuat sebagai mandate rakyat. Demokrasi merepresentasikan berbagai cita-cita rakyat yang telah diberikan kepada orang seorang atau sekelompok orang melalui proses pemilihan umum. Oleh karenanya, amanat yang diberikan kepada keterwakilan itu tidak boleh dicederai oleh kepentingan dan hasrat berkuasa semata. Sebab, sesungguhnya kedaulatan berada di tangan rakyat. Keterwakilan hanyalah saluran (chanelling) suara rakyat, untuk digagas dan diimplementasikan menjadi sebuah aturan main bersama. Sehingga ketertiban umum tercipta dengan baik.
Sistem demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan negara sebagai upaya untuk mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Sistem demokrasi dianggap sebagai sistem yang paling sempurna dan paling baik serta sangat diharapkan dapat terrealisasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada suatu negara yang menganut sistem demokrasi, prinsip-prinsip demokrasi harus ditegakkan, salah satu prinsip demokrasi tersebut adalah adanya proses pemilihan umum yang bebas dan adil serta dilaksanakan secara periodik (Syafie, 2002).
Amandemen kedua UUD 1945 Pasal 18 ayat (4) menyatakan bahwa Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis. Frase ini kemudian diterjemahkan sebagai pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung.
Bahkan dibuka peluang untuk calon independen ikut berkompetisi dalam kontestasi pemilihan umum kepala daaerah dan wakil kepala daerah. Peluang ini diberikan sebagai koreksi dan tandingan atas arogansi dan hegemoni politik partai-partai politik yang sarat dengan transaksi “dagang sapi” dalam mengusung pasangan calon kepala daerah.
Ada lima pertimbangan penting penyelenggaraan pemilukada langsung bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. Yakni : (1). pemilukada langsung merupakan jawaban atas tuntutan aspirasi rakyat karena pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPD, bahkan Kepala Desa selama ini telah dilakukan secara langsung. (2). pemilukada langsung merupakan perwujudan konstitusi dan UUD 1945. Seperti telah diamanatkan Pasal 18 Ayat 4 UUD 1945, Gubernur, Bupati dan Wali Kota, masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota yang dipilih secara demokratis. (3). pemilukada langsung sebagai sarana pembelajaran demokrasi (politik) bagi rakyat (civic education) yang membentuk kesadaran kolektif segenap unsur bangsa tentang pentingnya memilih pemimpin yang benar sesuai nuraninya. (4). pemilukada langsung sebagai sarana untuk memperkuat otonomi daerah dan (5). pemilukada langsung merupakan sarana penting bagi proses kaderisasi kepemimpinan nasional.
Selayaknya kita berharap, wacana ini memberi pelajaran berharga bagi keberlangsungan proses demokrasi dan kedaulatan rakyat di masa depan. Bahwa politik dan demokrasi tidak selamanya sebangun dengan harapan dan cita-cita kebangsaan. Oleh karena itu, sebagai rakyat yang cerdas, maka sudah saatnya men-delete anasir-anasir jahat dari dunia politik tanah air. Semoga bisa!
*) Hazwan Iskandar Jaya, Sekjen Ikatan Alumni Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta