Oleh: Fathol Haliq*
Haji merupakan perjalanan psikologis yang menyita perhatian masyarakat Madura. Bagi masyarakat yang kental dengan ajaran keagamaan, menjadi haji itu cita-cita yang “wajib diwujudkan” baik dengan cara legal maupun ilegal. Legalitas haji diperoleh jika mengikuti aturan Kementerian Agama Republik Indonesia. Sayangnya, tidak jarang masyarakat Madura memilih yang melewati onak duri dan berbagai penderitaan di perjalanan.
Dilansir Koran Madura (23/9/2014), jemaah haji telah berangkat sebanyak 21.837 orang dan 245 petugas. Data ini menunjukkan bahwa haji menjadi perjalanan psikologis yang diidam-idamkan kebanyakan masyarakat Madura. Bukan tidak mungkin dalam waktu mendatang seiring dengan membaiknya perekonomian masyarakat Madura ada perubahan orientasi perjalanan haji. Bagi orang yang mampu secara materi, namun belum mendapatkan “kursi perjalanan haji”, umrah menjadi alternatif lain.
Tulisan ini tidak bermaksud berpretensi menjelaskan “pilihan Allah” atas orang yang naik haji, namun lebih memilih haji sebagai “perjalanan psikologis” yang bukan hanya membutuhkan biaya namun persiapan mental, terutama karena jemaah haji akan menjadi “tamu Allah” yang diharapkan membawa kesalehan sosial dan berdampak positif bagi perbaikan atau revolusi mental –meminjam istilah Jokowi, presiden terpilih 2014—bagi individu serta masyarakat.
***
Sebagai perjalanan psikologis, haji berbeda dengan studi tour dan rekreasi. Perjalanan terakhir untuk mengisi kepenatan dari berbagai aktivitas sehari-hari, perjalanan yang pertama bermakna psikologis-spiritual. Perjalanan ini tidak saja mengedepankan kekayaan namun diyakini sebagai “pilihan Allah” atas orang yang memiliki kemampuan psikologis.
Menurut teori Behaviorisme, perilaku sebagai respon dari stimulus. Sebagai respon tentu saja perilaku bukan bagian dari apa-apa yang dimiliki oleh individu namun sebagai bagian dari proses interaksi dengan hal-hal yang menyangkut individu (Walgito, 2000). Secara psikologis perjalanan haji merupakan bagian dari cita-cita yang menjadi bagian dari proses spiritualitas individu. Justifikasi yang diinternalisasikan melalui pengalaman, keluarga, pendidikan, dan ceramah agama berkaitan dengan haji turut menjadi social support bagi sebagian orang untuk menunaikan ibadah haji.
Sebagai formulasi perilaku, respon menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari organisme atau individu (Woodworth dan Schlosberg, 1971). Individu menentukan perilaku yang akan menjadi alternatif atas yang berkaitan dengan kehidupan. Dalam perilaku haji seseorang dapat memilih menunaikan ibadah haji ataupun menundanya karena memiliki kepentingan lain selain ibadah tersebut.
Perjalanan “psikologis” haji dapat dimaknai dengan tiga teori penting dalam psikologi. Teori pertama, melihat perilaku tersebut sebagai bagian dari dorongan (drive) tertentu yang menjadi kebutuhan dari individu tersebut. Bagi Hull, misalnya, jika organisme ingin memenuhi keinginan maka akan terjadi ketegangan. Ketika organisme dapat memenuhi keinginannnya maka akan terjadi pengurangan (reduction) dari ketegangan tersebut. Inilah yang disebut dengan Drive Reduction Theory. Dorongan yang paling penting dari ibadah haji adalah memenuhi “panggilan Allah”.
Perjalanan haji dimaknai sebagai perilaku yang didasarkan kepada insentif. Insentif diperjelas dengan reinforcement. Dalam teori ini ada negative-positive reinforcement. Merupakan mekanisme pencegahan perilaku dengan mengedepankan hukuman, sedangkan positive reinforcement merupakan upaya menumbuhkan perilaku baru dalam individu. Hal kedua ini bisa dilakukan dengan memberikan hadiah. Penulis termasuk orang yang tidak meragukan adanya berbagai “janji hadiah” yang akan didapatkan oleh orang yang menunaikan ibadah haji, misalnya diampuni dosanya.
Teori lainnya, sebab-sebab terjadinya perilaku, bersandar pada teori atribusi, melihat perilaku sebagai bagian dari disposisi internal maupun disposisi eksternal. Diterminan perilaku ini tidak bisa dipisahkan dari hal-hal yang berkaitan dengan internal individu, misalnya harapan dan gambaran tentang masa depan. Sedangkan diterminan eksternal berkaitan dengan hal-hal yang memicu perilaku yang berasal dari lingkungan.
***
Perjalanan haji menimbulkan tantangan besar, yaitu kesempatan untuk mendapatkan “kursi perjalanan”. Konon, waiting-list haji telah overload dengan antre mencapai belasan tahun. Inilah yang banyak diperebutkan oleh calon jemaah haji, terutama masyarakat Madura.
Tantangan kedua, sebagai perilaku sosial keagamaan haji menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan antara –meminjam istilah Abdullah (1996)—hal-hal yang bersifat normativitas dan historisitas. Normativitas berkaitan dengan hal sakral, sedangkan historisitas bermakna profan.
Di Madura hal-hal yang berkaitan dengan dimensi historisitas dan normativitas menjadi tidak bisa dipisahkan. Haji sebagai perjalanan psikologis-spiritual berkaitan dengan kesiapan dalam upaya “menghadapi panggilan Allah”.
Perjalanan haji ini semakin menarik karena memiliki makna dan dimensi lain selain spiritual. Dimensi ini berkembang seiring dengan tradisi-tradisi masyarakat Madura. Misalnya seseorang yang akan berangkat haji hendaknya tidak keluar rumah. Diadakan slametan haji. Didoakan keluarga dan tetangganya. Pulang dari haji, individu yang haji menyiapkan berbagai hal berkaitan perjalanan yang mengharu biru, sedih, gembira, dan traumatis.
Pada beberapa masyarakat, dimensi ini seringkali mengalahkan dimensi psikologis-spiritualitas dari seseorang yang menunaikan haji. Kebanyakan dari jemaah haji bersusah payah memenuhi hal yang terakhir sementara hal yang utama menjadi bagian kedua dari perjalanan haji tersebut. Semoga hal utama dari perjalanan psikologis-spiritual haji adalah haji mabrur, sedangkan dimensi lainnya bukan tujuan dari kepada jemaah haji Madura. Apakah anda seperti itu? Wallahu a’lam.
*) Alumni Pascasarjana Psikologi UGM Jogjakarta Dosen STAIN Pamekasan