Para calon kepala desa, berharap cemas menjelang realisasi pilkades yang dijadwal Oktober mendatang. Jadwal Oktober itu pada akhirnya tidak memiliki kepastian mengingat konsideran pilkades tidak memiliki legal standing. Perda yang mengatur tentang pilkades yang tahun 2006 telah kadaluawarsa karena isi di dalam bertentangan dengan undang-undang desa nomor 6 tahun 2014 dan PP 43 tahun 2014 tentang pelaksanaan undang-undang desa.
Beberapa diktum yang sama sekali berbeda antara lain, masa jabatan kades yang semula dua periode berubah menjadi selama-lamanya tiga beriode (3 x 6 tahun). Selain itu, biaya pilkades yang semula ditanggung calon kepala desa juga berubah dimana kades tidak dipungut biaya. Ketiga, maksimal jumlah calon semula nyaris tanpa batas dan kali ini dibatasi selama-lamanya 5 calon kepala desa.
Dengan diundangkannya regulasi tentang desa yang baru, secara otomatis peraturan lama berikut turunannya perlu direvisi terutama menyangkut pasal-pasal yang berkait dengan desa dan kekepaladesaan. Selain itu, pemerintah memiliki kewajiban untuk berhati-hati dalam memutuskan sesuatu yang tidak jelas supaya desa dan hal terkait dengan kekepaladesaan tidak merasa dirugikan. Sebab, keputusan bupati (Sumenep) yang “memaksakan” kehendak untuk menggelar pilkades Oktober 2014 hampir pasti, molor. Ini jika dihitung dari urut-urutan konsideran yang akan turun sebagai dasar pijakan untuk menggelar pilkades.
Pada triwulan pertama silam, bupati mengabaikan surat edaran mendagri. Pada pokok edaran, kepala daerah disarankan tidak menggelar pilkades pada tahun 2014. Alasan Mendagri, pada tahun 2014 terdapat sejumlah pemilu khususnya pemilu legislatif dan presiden. Dari berbagai aspek, Mendagri merasa pantas memberi saran supaya bupati menunda pilkades hingga tahun 2015. Tetapi, bupati tetap bersikukuh melaksanakan pilkades untuk 90 desa di 27 kecamatan di bulan Oktober 2014. Bahkan hari dan tanggal pelaksanaan pilkades sudah diputuskan bupati. Tekad bupati itu merujuk pada pemilukada 2015 di kabupaten Sumenep dan karenanya, versi bupati, surat edaran Mendagri layak diabaikan.
Kini, setelah urut-urutan perundangan tak kunjung keluar, pelaksanaan pilkades tak lagi nyaring. Pertama, raperda tentang kepala desa yang diparipurnakan pada 20 Agustus 2014 silam belum kunjung dikembalikan gubernur untuk diparipurnakan sebagai perda. Selanjutnya, sebagai turunan dari perda, bupati mengeluarkan peraturan bupati. Pasca turunnya perbup, panitia pilkades sesuai amanat regulasi bekerja selama 35 hari kerja (tidak termasuk hari libur). Oleh karena itu, mau tidak mau, suka atau tidak suka, pilkades (hampir pasti) mundur.
Akibat yang ditimbulkan dengan kemunduran pilkades ini diderita oleh calon kepala desa. Jika jumlah calon kepala desa di 90 desa yang terjadwal pilkades masing-masing 2 orang, setiap calon kepala desa mengalami kerugian materil serendah-rendahnya senilai Rp. 40 juta. Itu bila setiap calon kepala desa membutuhkan dana operasional Rp. 2 juta/hari lalu dikalikan dengan waktu mundur 20 hari maka Rp. 2 juta x 20 hari = Rp. 40 juta. Apabila di desa terdapat 2 calon (minimal), maka kerugian per desa selama masa kemunduran mencapai Rp. 2 juta x 2 calon x 20 hari = Rp. 80 juta. Kemudian, angka ini dikalikan jumlah desa terjadwal pilkades sebanyak 90 desa. Maka total kerugian calon kepala desa Rp. 80 juta x 90 desa = Rp. 720 juta.
Itu jika biaya operasional kades per hari Rp 2 juta dan jika setiap desa hanya diikuti 2 calon kepala desa. Jika jumlah calon di setiap desa rata-rata 3 orang dan biaya operasional yang diperlukan mencapai Rp. 3 juta/hari, maka angka kerugian calon kepala desa mencapai lebih dari Rp. 1 miliar. Ini baru kerugian materil dan belum pada kerugian non materil seperti kerugian psikologis, taktik-strategis, dan hal terkait lainnya mengingat pergerakan politik selalu dalam hitungan detik. Inilah sebabnya, pengambil kebijakan, siapapun, harus mempertimbangkan banyak hal yang berkait dengan politik dan apapun, supaya tidak merugikan pihak-pihak yang berkepentingan. TIM
Argo Pilkades Terus Merambat

Berita pilkades yang tanpa biaya bagi calon kepala desa, merupakan kabar gembira. Ini berbeda dengan pilkades sebelumnya dimana biaya pilkades menjadi tanggungan calon kades. Namun berita tentang mundurnya pilkades, ini sebentuk kabar duka. Sebab, pilkades mundur biaya non pendaftaran calon kades bertambah. Alasannya, menjelang pelaksanaan pilkades, calon kades semakin kedatangan tamu, tidak diundang atau sengaja datang. Saat tamu bertandang, keluarga calon kades sudah dipastikan menyuguhkan hidangan, semampunya. “Hukum adatnya seperti itu (menghormati tamu),” kata ketua AKD Kecamatan Pragaan Zainul Ihsan.
Pria yang juga kepla desa Karduluk ini, pada awalnya kagum terhadap bupati yang bersikukuh melaksankan pilkades pada tanggal 8 Oktober 2014 mendatang. Itu artinya, bupati memiliki pandangan sendiri dengan mengabaikan surat edaran Mendagri yang menyarankan agar pilkades sebaiknya digelar tahun 2015. Karena bermaksud mencalonkan diri sebagai kades Karduluk mendatang, pria ini melakukan sosialisasi terutama ketika menjawab pertanyaan masyarakat apakah maju lagi atau tidak. “Saya sampaikan akan maju lagi dan sesuai petunjuk bupati pilkades dijadwal 8 Oktober 2014,” dia menjelaskan.
Namun setelah mendengar pilkades mundur, Ihsan tetap berharap itu hanya isu. Alasannya, pilkades mundur sama artinya dengan pembengkakan biaya personal calon kades. Dia beralasan, setiap kedatangan tamu setidak-tidaknya keluar anggaran soft drink dan snack bahkan lebih dari itu. “Pilkades ini ibarat taksi, semakin jauh kian mahal ongkosnya, argonya jalan terus, paya,” ujarnya sambil menggaruk kepala. OBET