Oleh: Taufiqurrahman*
Akhirnya, kegaduhan politik di negeri ini sudah mulai reda. Pemilu yang telah banyak menyita perhatian anak bangsa sudah ditetapkan siapa pemenangnya. Dalam hal ini, pasangan Jokowi-JK keluar sebagai pemanang melawan pasangan Prabowo-Hatta, setelah melewati sidang sengketa di MK.
Dua kubu tersebut tampil sebagai aktor drama politik di negeri ini. Layaknya sebuah drama, ada yang berperan sebagai tokoh protagonis, ada pula tokoh antagonis. Entah siapa dari dua kubu tersebut yang berperan sebagai tokoh protagonis atau antagonis. Bisa jadi satu kubu memerankan dua tokoh sekaligus: protagonis dan antagonis.
Hal itu dalam sebuah drama memang tidak lumrah. Tapi, dalam drama politik di negeri ini, hal itu bisa menjadi suatu hal yang nyata. Di satu saat, satu tokoh bisa merasa dizalimi, tetapi di saat yang lain tokoh itu justru melakukan kezaliman dengan menfitnah dan merasa suci.
Hal itu terjadi demi maraih empati. Sebab, drama ini bukan hanya soal pertunjukan, tetapi berkaitan dengan kekuasaan. Dua kubu tersebut tampil bukan hanya untuk ditonton, tetapi juga untuk dipilih dan meraih empati. Benar apa yang ditulis Ahmad Wahib dalam catatan hariannya, bahwa di dalam politik yang ada bukan hanya pertentangan benar atau salah, tapi juga baik atau buruk, bahkan juga kuat atau lemah dalam rangka menang atau kalah (2012: 199).
Rakyat, sebagai penonton drama ini, perhatiannya terpecah pada dua kubu tersebut. Polarisasi rakyat ke dalam dua kubu tersebut terjadi sedemikian rupa. Mereka nyaris lupa bahwa sebenarnya mereka masih hidup dalam satu tanah air yang sama. Tanah air Indonesia. Segala macam fitnah dan caci-maki terus bertebaran, sementara kebenaran kian samar tertutup kabut nafsu kekuasaan. Muncul banyak media partisan, yang menyajikan hidangan kebohongan.
Polarisasi menjadi kian runyam, ketika drama itu mengangkat isu keagamaan. Agama bisa menjadi senjata untuk menjatuhkan elektabilitas pihak lawan. Apalagi, ketika satu pihak berhasil “memanfaatkan” otoritas kaum agamawan. Jalan menuju kemenangan bisa menjadi semakin mulus dan lancar. Sebab, tak sedikit dari para konstituen di negeri ini yang memilih bukan berdasarkan akal sehat, tetapi hanya karena ikut atau patuh pada fatwa tokoh agama.
Mengakhiri Drama
Kini, drama itu harus segera kita akhiri. Jika, misalkan, sejak beberapa bulan yang lalu kita sempat terpolarisasi, namun kini saatnya kita menyatukan mimpi. Membangun Indonesia menjadi bangsa yang maju dan mandiri. Mari kita rajut kembali persatuan dan kebersamaan kita, demi membangun Indonesia yang lebih sejahtera.
Selama lima tahun ke depan, kita akan dipimpin oleh pemimpin baru untuk mewujudkan mimpi-mimpi itu. Baik pendukung pasangan Jokowi-JK atau pasangan Prabowo-Hatta, semua harus berada di bawah kibaran bendera Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lima tahun ke depan jangan ada lagi fitnah dan perselisihan.
Sementara tantangan pasangan Jokowi-JK sebagai presiden dan wakil presiden terpilih adalah mengayomi semuanya. Baik yang mendukung dirinya atau yang mendukung Prabowo-Hatta. Semua rakyat Indonesia, tanpa kecuali, harus bisa tersentuh oleh kebijakan-kebijakan yang bisa menyejahterakan mereka.
Selama lima tahun ke depan, kita lupakan saja apa yang terjadi dalam drama politik berjudul “Pilpres” itu. Anggap saja semua hal yang di luar kepentingan untuk memajukan bangsa sebagai “hiburan politik” yang lalu begitu saja. Sehabis pertunjukan itu, kita kembali beraktivitas sepertia biasa, dan bersama-sama membangun bangsa.
Ikut Bermain Drama
Sehabis menonton sebuah drama, apa yang akan Anda lakukan? Jawaban yang mungkin Anda lontarkan adalah mengambil pelajaran dari isi drama itu. Lalu, bagaimana dengan drama yang berjudul “Pilpres” itu? Apakah kita juga mesti mengambil pelajaran dari drama itu? Ya, jelas kita mesti mengambil pelajaran dari sebuah drama yang telah kita tonton selama hampir 3 bulan itu.
Akan tetapi, sehabis kita mengambil satu pelajaran, apa yang harus kita lakukan? Apakah kita hanya akan tinggal diam sambil lalu menunggu drama itu kembali digelar pada lima tahun yang akan datang? Tidak! Kita harus memulai episode baru dalam drama itu dengan judul “Bersama Kita Membangun Bangsa”. Dalam episode ini kita harus bisa ikut berperan menjalankan drama.
Apa peran kita dalam drama kali ini? Peran kita dalam drama bertajuk “Bersama Kita Membangun Bangsa” ini sesuai dengan passion dan profesi kita masing-masing. Jika, misalkan, kita adalah guru atau dosen yang banyak bergelut di dunia pendidikan, maka peran kita adalah memajukan dunia pendidikan demi mencerdaskan kehidupan anak bangsa.
Jika kita adalah adalah pengusaha, maka kita harus membuat dunia bisnis di Indonesia lebih bermartabat dengan memperhatikan lokalitas demi menjaga kebudayaan Nusantara menghadapi Asian Economic Community (AEC) yang sebentar lagi akan dibuka. Begitu juga yang menjadi petani, nelayan, peneliti, pemikir, dan lain sebagainya. Semuanya harus berkontribusi aktif dalam membangun kemajuan bangsa.
Tugas untuk memajukan kehidupan bangsa ini tidak bisa hanya dipasrahkan kepada satu orang presiden beserta seorang wakilnya. Mereka tidak akan mampu mengemban tugas ini tanpa ada partisipasi dan kontribusi dari kita. Sebab, mereka bukan Tuhan yang mampu melakukan segala hal.
Selain itu, kritik-konstruktif mesti kita lakukan setiap ada hal yang mesti diluruskan. Inilah salah satu nilai lebih dari sistem demokrasi. Di mana ada penyimpangan dan penyelewengan, maka di situ harus segera ada pelurusan. Jika tidak demikian, maka demokrasi Indonesia akan selalu berada dalam kondisi—meminjam bahasa Guillermo O’Donnell—the perpetual absence of something more. Sederhananya, tanpa kritik, sistem demokrasi akan menjelma sesuatu yang tidak pernah bernilai lebih, atau meminjam bahasa metaforisnya Rocky Gerung (Demokrasi dan Kekecewaan, 2011:21), “hasrat yang tak pernah sampai.”
Karenanya, kritik di alam demokrasi menjadi hal yang niscaya. Sebab, seorang presiden yang menjalankan tugas kenegaraan adalah seorang manusia yang pasti melakukan salah. Ia bukanlah malaikat yang selalu benar dan dibebaskan dari segala dosa.
*) Aktif di Kajian Filsafat Nusantara Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta