Oleh : Abrari Alzael*
Katakan tidak, padahal korupsi. Kalimat itu ditemukan di dunia maya, ketika Andi Malarangeng divonis 4 tahun, beberapa waktu lalu. Andi termasuk sosok yang menampakkan diri sebagai kader, dari sebuah partai yang megatakan “tidak” pada korupsi. Andi tidak sendirian, bersama rekan sesama partai, Angelina Sondakh dan Anas Urbaningrum, versi pengadilan tipikor, terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi.
Pada putusan pengadilan, bersalah sekalipun, secara hakiki belum tentu terdakwa keliru meski ia mungkin saja lebih bersalah dari putusan hakim. Sebab, majelis hakim mengacu fakta hukum yang terjadi selama persidangan. Kemudian, sesuai keyakinannya, hakim memutus terdakwa; bersalah atau tidak bersalah dari sisi hitam putih. Dari sisi substansi perkara, dilakukan atau tidak dikerjakan, terdakwalah yang lebih tahu sebagaimana terminologi arab, antum a’lamu biumuri dun-yakum.
Dari sisi psikologis, yang dialami Anas menarik diurai dari perspektif psikis. Pertama, saat ia menjadi ketua umum partai, popularitas Anas seperti meteor. Kemasyhurannya mengalahkan sosok lain yang ada di partai itu. Tetapi, ada kemungkinan, terdapat pihak lain yang tidak ingin ia populer, lalu derapnya dijegal oleh sesama sosok, di partai itu. Ini memang lazim dalam politik meski hal ini lalim di luar ranah politik. Waktu itu, Anas menyebut sosok yang tidak menyukainya sebagai Sengkuni.
Sisi berikutnya, Anas diduga terlibat korupsi. Tengara ini mungkin saja benar atau tidak betul sama sekali. Namun ketika Anas menyatakan, “Satu rupiah pun terbukti korupsi, gantung Anas di Monas.” Dari sisi psikologi-aura, dapat dibaca Anas mengatakan itu pada posisi kakinya yang terinjak. Pada posisi terjepit, seseorang dengan begitu mudah mengatakan apapun; disukai atau tidak dikehendaki.
Aspek lainnya, pada saat ia menjadi terperiksa, Anas kembali memunculkan kalimat yang indah didengar, “Kalau saya SBY, saya antar Ibas ke KPK.” Ini isyarat awal bahwa sebenarnya Anas tidak sendirian saat berbuat baik sebagaimana ia punya teman untuk berbuat yang lain. Hanya karena ini Indonesia, hukum kadang seperti gergaji; ia memotong ke samping dan ke bawah. Sebagai gergaji, ia jarang digunakan untuk memotong dari bawah dengan gigi berada di atas.
Apa yang dialami Andi, Anggie, Anas dan siapapun, ini tamsil kecil dari kemungkinan nama lain yang belum muncul. Bahwa ketiga nama itu sama-sama dimulai dari huruf “A”, ini sinergis dengan apa yang disampaikan Anas, “Ini baru permulaan.” Mungkin dimulai dari 3A (Andi, Anggie, dan Anas) dulu, atau hanya sampai di 3A dalam kasus yang sama atau yang hampir serupa. Namun, suatu saat terkuak siapa sebenarnya yang benar-benar bersalah. Jika hari ini belum terbuka, ada hal lain yang akan menjelaskannya kepada publik; mengaku, atau alam yang membuatnya mengerti tentang serapi bangkai dikubur, baunya akan tercium juga. Bahwa setiap warga membela diri, itu bagian dari caranya untuk mempertahankan hak konstitusinya masing-masing.
Pada tahun 2009, manakala sebuah rudal jelajah Amerika Serikat ternyata membawa bom curah saat melakukan serangan ke Yaman dan menewaskan 55 orang, tak ada yang tahu siapa pelaku atas peristiwa ini. Tetapi akhirnya, rudal Tomhawk buatan AS dan bom curah yang tak meledak di Desa Al Maajala di Provinsi Abyan, Yaman Selatan, menjelaskan siapa yang telah sembunyi meski ia pelakunya. Amerika dengan luas wilayah 9.826.675 km², pelaku kejahatan yang sebenarnya bisa terkuak. Sedangkan Indonesia dengan luas 1.919.440 km², sepertinya tidak jauh lebih mudah dari Amerika untuk sekadar menemukan dalangnya. (*)
*) Budayawan Madura