BANGKALAN – Pengesahan RUU Pilkada terus dinilai. Salah satunya penilaian itu diberikan oleh Pengamat Politik Universitas Trunojoyo Madura (UTM), M Syafik. Menurutnya pengesahan mekanisme pemilihan kepala daerah dalam RUU Pilkada tak ubahnya ‘Sandiwara Politik’ yang dipertontonkan sejumlah partai yang tergabung dalam koalisi merah putih (KMP) kepada rakyat. Tidak hanya sandiwara saja, hal tersebut sebagai salah satu bentuk ketidakkonsistenan sikap politik, karena ambisi politik mereka tidak terwujudkan.
“Mereka itu tidak konsisten. Pada saat Pilpres begitu ngotot untuk Pilkada langsung. Tapi setelah Pilpres mereka begitu ambisi untuk menggelar Pilkada tidak langsung dengan melakukan perubahan tersebut,” sesal dosen FH UTM itu.
Tidak dapat dipungkiri, lanjutnya, jika Undang-undang merupakan produk politik. Sehingga, mengandung unsur-unsur kepentingan di dalamnya. Akan tetapi, apa yang dilakukan oleh KMP ini menunjukan sikap yang sama sekali tidak konstitusional. Sebab, mereka memahami ketentuan pasal 18 ayat 4 Undang-undang Dasar RI secara parsial. Sehingga, tidak melihat pada ketentuan-ketentuan pasal yang lain.
“Dalam memahami pasal itu tidak secara gramatikal. Namun, harus melihat pada pasal-pasal sebelumnya yang sama-sama menjiwai. Nah pada kasus ini, mereka tidak paham atau memang memaksakan diri untuk melakukan perubahan karena merasa sakit hati,” sindirnya.
Dengan disahkannya RUU Pilkada ini menurunya merupakan kemunduran sistem demokrasi yang telah dibangun selama sepuluh tahun belakangan ini. Selain itu juga sebagai perampasahan hak warga negara yang telah dilindungan oleh undang-undang. Sebab, masyarakat memiliki hak untuk menentukan pemimpinnya. Tentunya ini akan menjadi preseden buruk dalam sejarah demokrasi Indonesia.
“Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan itu tidak ada lagi dengan perubahan sistem pemilihan kepala daerah,” tandasnya.
Sementara itu, anggota DPRD Bangkalan, Mahmudi menyatakan perubahan RUU ini tentunya tidak lagi memberi kesempatan bagi masyarakat untuk belajar berdemokrasi. Sebab pemilihan sudah menjadi kewenangan anggota dewan. Sehingga calon pemimpin yang akan dipilih hanya diketahui oleh anggota legislatif saja. “Ya masyarakat tidak tau rekam jejak calon pemimpinnya. Tentunya ini sangat merugikan bagi masyarakat,” cetusnya. DONI HERIYANTO/RAH