Oleh: Mochammad Sayyidatthohirin*
Sebentar lagi, tepatnya pada tanggal 20 Oktober mendatang momentum pelantikan Joko Widodo (Jokwi) sebagai Presiden Indonesia ke tujuh akan dilaksanakan. Setelah itu, keduanya harus segera melaksanakan tugas perdananya yaitu memilih para menteri yang akan mengisi kursi-kursi kabinet untuk membantu menyukseskan kinerjanya hingga lima tahun ke depan.
Dalam memilih menteri, Presiden Jokowi harus memenuhi janjinya yang pernah disampaikan ketika kampanye bahwa dia akan membentuk koalisi ramping berparadigma baru. Maksudnya adalah membentuk susunan kabinet tidak berdasarkan saling berbagi kekuasaan dan jabatan menteri, tapi berdasarkan kesepahaman ideologi dan profesionalitas para calon menteri demi pembangunan Indonesia menjadi lebih baik. Hal ini seperti tuntutan Kepala Ekonom PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) Destry Damayanti yang mengatakan bahwa Jokowi harus memikirkan janjinya dalam pembentukan kabinet. Ini selaras dengan maqolah arab, al wa’du daynun. Artinya janji adalah hutang. Maka, Jokowi harus memenuhi hutangnya kepada rakyat.
Sebab, kabinet merupakan komponen paling urgen bagi suatu negara. Urgensinya, bagaikan fondasi suatu bangunan. Apabila fondasi itu berkualitas dan kokoh, maka bangunan itu akan kuat dan mampu bertahan lama. Namun sebaliknya. Bila fondasi itu tidak berkualitas dan kokoh, maka bangunan tersebut akan segera rapuh dan hancur. Begitu juga dengan Indonesia. Apabila Indonesia nantinya dikelola oleh para menteri yang handal, berkompeten, profesional dan berkualitas, maka bangsa ini akan makmur dan sejahtera. Namun, bila dikelola oleh menteri abal-abal akibat jalur transaksional yang disorientasi dan oportunis, maka tidak mustahil jika nasib Indonesia akan semakin terpuruk dan sengsara. Jadi, bisa dikatakan bahwa formasi kebinet bentukan Jokowi akan sangat menentukan nasib bangsa Indonesia hingga lima tahun ke depan.
Maka dari itu, haram bagi Jokowi untuk membentuk kabinet berdasarkan balas budi atau demi memperjuangkan kepentingan pribadi maupun kelompoknya. Sebab, politik semacam itu banyak menimbulkan berbagai mudharat dari pada manfaat bagi kemaslahatan umat. Diantaranya semakin maraknya praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) dan melemahnya supremasi hukum. Jika itu masih dilakukannya, maka akan terbentuk kabinet transaksional atau dalam istilah populer disebut sebagai politik dagang sapi. Ini terbukti dengan susunan kabinet produk SBY, para pejabat negara banyak tersangkut kasus korupsi.
Sedangkan menurut seorang politikus, Basrah, secara ideologis politik transaksional bertentangan dengan garis kebijakan partai. Padahal, rakyat sangat berharap pada Jokowi supaya membentuk kabinet yang “bersih” dan “suci”, sehingga mampu melaksanakan tugas-tugas yang diembannya dengan penuh rasa ikhlas, optimal, dan maksimal. Pada akhirnya, kesejahteraan tidak akan mustahil bisa terwujud (teori Aristoteles).
Jika Jokowi masih ingin dihormati, disegani, serta tidak kehilangan kepercayaan publik, maka dia bersama Jusuf Kalla harus mampu memulai kinerja perdananya dengan membentuk susunan kabinet dengan profesional, independen, serta bijaksana. Dia harus “melek” bahwa masalah pertama dan utama yang harus diselesaikan adalah memilih para menteri yang bebas dari kasus hukum, terutama korupsi. Salah satu caranya adalah dengan menjauhi transaksi dalam pembentukan kabinet. Jika demikian, maka dia akan memiliki peluang besar bisa memperbaiki dan mengelola Indonesia menjadi lebih baik.
Namun sebaliknya, bila Jokowi seenaknya sendiri dalam membentuk kabinet, lebih mementingkan urusan pribadi dan atau kelompok yang terdiri dari berbagai partai koalisi dan para relawan yang membantu kesuksesannya dalam memenangkan pemilihan presiden (Pilpres) kemarin, jangan salahkan rakyat jika mreka akan berbalik arah darinya. Yang semula bersikap pro dengannya, akan menjadi sangat kontra dan bahkan membencinya.
Implikasinya, kondisi Indonesia akan menjadi suram dan runyam. Sebab, rakyat akan lebih sering menolak kebijakan-kebijakannya karena dinilai tidak sejalan dengan tujuan bangsa, negara, dan hati nurani rakyat. Jika demikian, maka akan membahayakan nasib bangsa Indonesia. Artinya, hal itu akan menimbulkan berbagai malapetaka di Indonesia, seperti kerusuhan, konflik, bahkan rakyat bisa jadi akan mengkudetanya. Itu semua akan terjadi bila Jokowi membentuk kabinet berdasarkan praktik transaksional. Padahal, tujuan pertama dan utama pembentukan kabinet adalah untuk mensejahterakan rakyat. Tapi ironisnya, sejumlah oknum menjadikannya momentum tersebut saling berbagi kekuasaan untuk memperkaya diri.
Maka dari itu, bila ingin Indonesia sejahtera, paling tidak Jokowi bersama perangkat negara harus melaksanakan beberapa langkah brilliant, profesional, serta futuristik supaya terbentuk kabinet profesional dan bebas transaksional. Pertama, Jokowi harus mengaplikasikan kandungan friman Allah dalam Surat Al-Nisa’: 58 tentang perintah memberikan amanat kepada orang sesuai kompetensi di bidangnya. Disamping itu, Nabi Muhammad SAW. melalui hadistnya yang diriwayatkan oleh Bukhori Muslim juga pernah menyampaikan kepada umatnya bahwa apabila kita menyerahkan amanah kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggu saja kehancurannya.
Ayat dan hadist tersebut sangat tepat dan relevan untuk diamalkan pada saat ini, khususnya bagi Jokowi. Jokowi harus mampu memilih para menteri berdasarkan keahlian di bidangnya. Artinya, Jokowi harus memilih para menteri yang cerdas, handal, profesional di bidangnya, kompeten, menghargai ke-Bhinneka-an, berjiwa nasionalisme tinggi, berjiwa kepimpinan (leadership) yang kuat dan tangguh, memiliki spirit kerakyatan, memiliki rekam jejak baik terutama tidak pernah terlibat kasus korupsi, dan berpengalaman dalam bidangnya. Dalam hal ini, dia tidak perlu mempermasalahkan apakah orang itu dari politisi parpol koalisi, oposisi, ataupun akademisi. Yang terpenting mereka memenuhi kriteria di atas. Adapun jika mendapat berbagai intervensi dan tekanan, itu menjadi konsekuensi baginya sebagai orang nomer wahid di Indonesia untuk saat ini. Sebab, apabila nantinya Jokowi memilih para menteri bukan berdasarkan keahliannya, maka tinggal menunggu kehancuran Indonesia.
Kedua, Jokowi harus menjauhi politik kapitalis. Sebab, dalam politik tersebut, para pelakunya tidak akan memperhatikan kualitas cara yang dilakukannya, apakah halal atau haram. Orang semacam itu seolah-olah seperti orang yang kehausan darah, sehingga berbagai cara pun dilakukannya demi meraih tujuannya. Sedangkan menurut Siti Zuhro, seorang politisi, politik kapitalis akan membentuk negara berbasis demokrasi oportunis. Dalam konteks ini adalah orang-orang yang akan mempertaruhkan jiwa dan raganya demi memperoleh kursi kabinet dengan berbagai cara yang ditempuh untuk memenuhi kepentingan pribdi atau kelompoknya. Maka, mereka akan berpeluang melakukan transaksi kabinet dengan Jokowi.
Ketiga, jangan sampai Jokowi memilih menteri dari pejabat partai. Sebab, itu akan menimbulkan dualisme kepemimpinan. Masalahnya, selain dia mengurus tugasnya sebagai menteri, dia juga harus menjalankan tugasnya sebagai pejabat partai. Akibatnya, menteri tidak akan bisa fokus dalam menjalankan tugas-tugasnya dan pada akhirnya tugas utamanya sebagai menteri akan berpeluang besar gagal. Selain itu juga akan rawan terjadi praktik KKN.
Keempat, sebaiknya selain memilih menteri yang professional, Jokowi juga harus memilihnya yang dari kalangan politisi. Sebab, dalam menjalankan tugasnya sebagai menteri, diperlukan skill berpolitik. Apabila menteri hanya cerdas dan professional secara intelektual dalam mengajukan idea atau gagasan tanpa memiliki skill berpolitik, maka bisa jadi dia akan dibodohi para politisi DPR dalam pembuatan kebijakan.
Semoga, Presiden Jokowi berhasil membentuk kabinet yang bersih, suci, berintegritas, dan profesional sehingga terwujud Indonesia yang bermartabat, makmur, dan sejahtera. Wallahu a’lamu bi al-showab.
*) Ketua Pergerakan Peduli Politik (PPP), Mahasiswa Peraih Beasiswa Bidikmisi IAIN Walisongo Semarang